Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi
(Bagian I : Pers)
Reformasi menurut Widjaja (2011:75)
merupakan usaha agar praktik-praktik politik, pemerintah, ekonomi, serta sosial
budaya yang oleh masyarakat dianggap tidak sesuai dan tidak selaras dengan
kepentingan dan aspirasi masyarakat diubah menjadi lebih sesuai dan selaras.
Reformasi berkaitan dengan keinginan pada perubahan dari masa yang sedang
dihadapi. Hal tersebut tergambar pada era orde baru yaitu Indonesia
menginginkan perubahan struktur dalam pemerintah karena dirasa sangat
merugikan. Perubahan tersebut mengakibatkan Soeharto turun dari kursi
kepresidenan.
Ada beberapa faktor yang mendasari
pergerakan era reformasi. Pertama, krisis politik, digambarkan dengan situasi
pada saat orde baru kebijakan politik hanya untuk mempertahankan pemerintahan
Soeharto. Artinya demokrasi pada saat itu hanya untuk kepentingan pemerintah.
Dari kondisi krisis ini, terdapat ciri-ciri kehidupan politik yang represif,
yaitu:
1. Setiap orang atau kelompok mengkritik kebijakan
pemerintah dan dituduh sebagai tindakan subversif.
2. Lima Paket UU politik yang dilaksanakan melahirkan
demokrasi semu.
3. Terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme.
4. DWI Fungsi ABRI dilaksanakan dengan mengusung
kebebasan setiap warga negara sipil untuk berpartisipasi dengan pemerintah.
5. Masa kekuasaan presiden tidak terbatas, karena
pemilihan Suharto dalam Sidang Umum MPR merupakan rekayasa.
Kedua, krisis hukum, terjadi karena
hukum dijadikan sebagai alat pembenaran oleh para penguasa. Hal itu
bertentangan dengan pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan bahwa kehakiman memiliki
kekuasaan yang merdeka dari kekuasaan pemerintahan. Ketiga, krisis ekonomi,
Indonesia mengalami krisis ekonomi
karena adanya krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara. Pada
saat itu nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat melemah hingga
mencapai titik terendah yaitu Rp 14.000.00 per dollar.
Keempat, krisis sosial, terjadi
karena adanya krisis politik, hukum, dan ekonomi. Konflik politik serta konflik
antar etnis dan agama terjadi karena politik dilaksanakan secara represif.
Kondisi itu menyebabkan kerusuhan di beberapa daerah. Kelima, krisis
kepercayaan, ditunjukkan dengan menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap
Suharto karena krisis multidimensional yang melanda Indonesia. Selain itu,
krisis kepercayaan juga terjadi karena ketidakmampuan pemerintah dalam
membangun kehidupan politik yang demokratis, menegakkan pelaksanaan hukum dan
sistem peradilan, serta pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berpihak pada
masyarakat.
Dinamika Kebijakan Informasi dan Komunikasi Era Reformasi
1. B.J. Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)
Pada masa
jabatanya, B.J. Habibie mengeluarkan beberapa kebijakan mengenai pers, yaitu:
·
Disahkannya
UU Nomor 40 Tahun 1999.
·
Penyederhanaan
izin SIUPP.
·
Melindungi
praktisi pers dengan memberikan hukuman bagi siapun yang menghambat kemerdekaan
pada pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999.
·
Mencabut
SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai
satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.
2. K.H. Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli
2001)
Abdurrahman Wahid
atau yang lebih akrab disapa Gus Dur, selama masa jabatannya menyumbangkan
kebijakan yang berpengaruh terhadap pers.
· Beliau
memutuskan untuk membubarkan dan menghapus Departemen Penerangan dan
menggantinya dengan BIKN (Badan Informasi dan Komunikasi Nasional) pada 7
Desember 1999. Hal itu didasarkan oleh Keppres Nomor 153 Tahun 1999, sebagai
pengganti Departemen Penerangan, yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya
Kominfo.
· Menurut
Lubis (2016), Penghapusan Departemen Penerangan bertujuan untuk menghapus symbol government opinion, dimana Gus
Dur mengatakan bahwa informasi merupakan milik publik dan bukan milik
pemerintah semata.
3. Megawati Soekarno Puteri (23 Juli 2001 – 20 Oktober
2004)
Megawati telah mengeluarkan
beberapa kebijakan dalam dunia pers, yaitu:
·
Meresmikan
Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi pada Tahun 2001.
·
Membentuk
Lembaga Informasi Nasional (LIN) untuk melaksanakan tugas pemerintahan dibidang
pelayanan informasi nasional.
·
Mengalihkan
wewenang Kominfo dalam hal konten menjadi wewenang lembaga independen baru
bernama Komisi Penyiaran Indonesia yang dibentuk melalui UU Nomor 32 Tahun 32
tentang Penyiaran.
4. Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober
2014)
Pada masa
kepemimpinannya, SBY memenetapkan beberapa kebijakan berkaitan dengan pers.
·
Pers
yang bebas namun bertanggung jawab.
·
Membentuk
Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Dengan cara menggabungkan
Kementrian Negara Komunikasi dan Informasi, Direktorat Jenderal Pos dan
Telekomunikasi, Lembaga Informasi Nasional yang berasal dari Departemen
Perhubungan, serta menambahkan direktorat jenderal baru yaitu Direktorat
Jenderal Aplikasi Telematika.
·
Membentuk
Komisi Informasi yang berdasarkan UU Nomor 14 Tahun 2008 mengenai Keterbukaan
Informasi Publik..
5. Joko Widodo (20 Oktober 2014 – Sekarang)
·
Pada
masa pemerintahan Jokowi, pers dinilai masih rendah karena perlindungan
wartawan masih buruk.
·
Adanya
kebijakan clearing house, dikenal
sebagai prosedur yang berbelit karena prosesnya yang lama.
·
Pada Tahun
2016 dilakukan revisi terhadap UU ITE.
Keadaan
Pers saat Reformasi & Regulasi Pers saat Reformasi.
Pada era reformasi pers dapat menyuarakan pendapat
secara lebih bebas dan lebih bertanggung jawab kepada pemerintah, masyarakat,
dan negara. Kehidupan pers sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah
didukung dengan perubahan peraturan yang dinilai merugikan, yaitu:
1. UU Nomor 40 Tahun 1999 disahkan pada tanggal 23
September 1999.
2. Berdasarkan Pasal 9 ayat 2 UU Nomor 40, SIUPP
dihapuskan.
3. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 Tahun 1999
ketentuan sensor dan pembredelan pers dihapuskan.
4. Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU
Nomor 40 Tahun 1999, praktisi pers dilindungi dengan ancaman hukum pidana bagi
yang menghambat kemerdekaan pers.
5. SK Menpen Nomor 47 Tahun 1975 mengenai pengakuan
pemerintah terhadap PWI dicabut.
6. Departemen penerangan dibubarkan karena dianggap mengekang
kebebasan pers.
7. Dewan pers dibentuk untuk mengawasi dan menetapkan
kode etik, serta bertugas sebagai mediator jika ada kesalahpahaman dengan
rakyat ataupun pemerintah.
Perbedaan Pers pada era Orde baru dan Reformasi
Pada era orde baru, pers selalu diawasi
dan diharuskan medukung pemerintah. Era ini dikenal banyak terjadinya pembredelan
terhadap pers. Jika pers menampilkan berita yang tidak diinginkan oleh
pemerintah maka akan dilakukan pembredelan. Era reformasi identik dengan kebebasan
pers. Hal itu tercermin dalam penghapusan izin SIUPP. Walaupun identik dengan
pers yang bebas, namun era reformasi pada kenyataannya, pers masih terancam.
Masih banyak terjadi kasus kekerasan terhadap wartawan serta masih ada pembatasan
informasi terhadap wilayah di Papua. Selain itu, kebebasan pers pada era ini juga
dibatasi dengan kemunculan pers partisipan yang berpihak kepada organisasi atau
partai politik tertentu. Menurut Hidayat, Gazali, Suwardi & Kartosapoetro (2000:452)
kondisi itu menyebabkan kentingan kelompok lebih tinggi diatas kaidah-kaidah
profesionalisme jurnalistik yang berlaku secara umum.
Menurut menurut Hidayat, Gazali,
Suwardi & Kartosapoetro (2000:452), pada era reformasi juga terjadi
tindakan deregulasi pers yaitu penghapusan state
regulation yang kemudian diganti dengan market
regulation. Market regulation merujuk pada situasi dimana mekanisme pasar
ditentukan dengan adanya kaidah penawaran-permintaan seperti dalam ekonomi.
Pada era sekarang ini, situasi tersebut relevan karena berita dan informasi
yang disebarkan cenderung mencari keuntungan semata, hanya untuk mengikuti
minat masyarakat. Bahkan isi berita sudah tidak lagi diprioritaskan, namun
hanya berfokus pada bagaimana sebuah berita dapat menjadi kontroversi sehingga
disukai semua orang.
Daftar
Pustaka
Hidayat,
D.N., Gazali,E., Suwardi,H., Kartosapoetro,I.S. (Eds.). (2000). Pers dalam “Revolusi Mei” : Runtuhnya Sebuah
Hegemoni. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Widjaja,
HAW. (2011). Otonomi Daerah dan Daerah
Otonom. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Lubis,
C. (2016). Gus Dur Sang Pembela Kebebasan
Pers. Diambil dari: http://telusur.metrotvnews.com/news-telusur/ybJyW68N-gus-dur-sang-pembela- kebebasan-pers. (Diakses pada 15 April 2019)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar