Discuss Communication Studies In A Brief, Accurate And In-Depth From Reliable Source

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Senin, 29 April 2019

Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi (Bagian II : Penyiaran)


Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi (Bagian II : Penyiaran)
 
Source : suaramerdeka.com

Membangun Sistem Penyiaran yang Demokratis di Indonesi

Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai macam latar belakang yang berbeda mulai dari suku, agama, ras, bahasa, budaya. sehingga setiap masyarakat memiliki kebutuhan berbeda-beda termasuk dalam kebutuhan memeroleh informasi (Armando, 2011). Banyaknya informasi yang beredar dari berbagai penjuru daerah misalnya jawa atau jakarta tentunya memiliki pembahasan informasi yang berbeda dan belum terbagi secara merata di daerah yang lain. Penyebab yang ditimbulkan adalah penyiaran untuk membagikan suatu informasi di negara Indonesia ini masih sentral padahal sudah diterapkan kebijakan Sistem Siaran Jaringan di Indonesia.


Stasiun besar yaitu Televisi Swasta Nasional bahkan tidak membagikan informasi yang sesuai untuk masyarakat bahkan di bagian-bagian belum terjangkau. Berita yang beraneka ragam misalnya tentang politik, ekonomi, dan budya diperoleh dari para penyumbang dimana harus beradu dengan berbagai macam berita dari berbagai daerah. Budaya juga mulai masuk dalam kehidupan masyarakat daerah tertentu. Gaya hidup yang semakin kebarat-baratan menjadi asupan sehari-hari dan alurnya bertahap sesuai berjalannya waktu. Sistem penyiaran yang terpusat, harus dapat dibilang memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai ruang publik.
Stasiun Televisi mempunyai fungsi yaitu menyiarkan berbagai program, konten audio visual untuk masyarakat, namun hal tersebut juga menjadi keuntungan tersendiri melalui bisnis tersebut. Bahkan stasiun Televisi Swasta Nasional seharusnya menerapkan sistem siaran jaringan dimana harus menyediakan sebesar 10% konten siaran lokal dari total durasi siaran setiap harinya. Konten lokal seakan disingkirkan dan menyiarkan konten TV yang berpusat yaitu di Jakarta. Strategi oleh pihak TV sendiri yaitu meletakkan konten lokal pada waktu dini hari tentunya hal ini sangat melanggar aturan dari nilai demokratis yang diharapkan serta sangat tidak memedulikan sistem siaran Jaringan.
Sistem siaran jaringan harus dilaksanakan sesuai prinsip demokrasi hal ini juga berdampak pada masyarakat indonesia agar memeroleh dan memenuhi kebutuhannya. Tujuannya sendiri untuk dilaksanakannya Sistem Siaran Jaringan adalah Indonesia menginginkan adanya keberagaman atas isi media dan keberagaman kepemilikan media. Keduanya mungkin menjadi saling berpengaruh karena atas kepemilikan yang berbeda, menghasilkan konten media yang berbeda pula dari tujuan seharusnya yaitu kepentingan publik dan memiliki kepentingan lain dibalik adanya penyiaran tersebut misalnya melalui iklan dan sebagainya.
Stasiun Televisi Swasta Nasional memiliki orientasi yaitu keuntungan dengan memberikan atau menyiarkan berbagai konten yang mampu menjaring seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat membutuhkan informasi yang tidak bias hanya karena informasi tidak dapat mewakili seluruh masyarakat Indonesia sendiri. Prinsip penyiaran yang terjadi yaitu berbagai macam stasiun Televisi yang mulai bergabung untuk memeroleh keuntungan, adanya konglomerasi media, adanya kepentingan politik di dalamnya dan sebagainya. Banyaknya televisi swasta yang mulai tergerak, mereka hanya mengutamakan keuntungan semata yaitu pemilik stasiun televisi. Hal ini tentunya berakibat pada demokratisasi penyiaran yang tidak baik dan sejalan dengan UU. Berbagai kepemilikan Stasiun Televisi Swasta Nasional juga memiliki dampak bagi konten yang disiarkan juga di media.
Sistem siaran jaringan yaitu menurut UU Penyiaran yang ada pada tahun 2002 dimana UU tersebut memuat beberapa pasal yang mendorong terjadinya demokratisasi penyiaran. Demokratisasi penyiaran yaitu tentang Televisi berjaringan yang berarti sistem penyiaran Televisi tidak lagi berpusat di Jakarta (Armando, 2009). UU Penyiaran yaitu NO. 32 Tahun 2002 dimana adanya stasiun TV yang menyiarkan berita secara nasional agar dapat menjangkau masyarakat di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam Sistem Jaringan tidak ada lagi stasiun TV Nasional namun sistem jaringan TV secara nasional. Pada UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, mulai ada stasiun TV lokal luar Jakarta yang mulai berdiri baik independen atau bagian dari jaringan stasiun TV nasional. Jakarta tetap mendirikan stasiun TV lokal namun tidak otomatis dapat membangun dan memeroleh izin karena harus melalui tahap atau prosedur yang ditetapkan terlebih dahulu, luar jakarta dapat mendirikan stasiun TV lokal atau memilih bahkan mencari stasiun TV lain dari jaringan mereka.
Sistem siaran jaringan mulai ada sejak tahun 2002 dan melahirkan beberapa UU misal UU penyiaran Tahun 2002 setelah presiden Megawati Seokarno Putri, UU Penyiaran 2002 diusulkan oleh DPR tidak ditandatangani olehnya (Masduki, 2007). Hal ini mengakibatkan beberapa stasiun TV swasta nasional tidak menjalankan aturan dari sistem siaran jaringan. Kebijakan sistem siaran jaringan mulai diabaikan saat itu bahkan selama beberapa tahun dan pada suatu ketika akhirnya pemerintah mengadakan rapat yang menyarankan agar KPI memberikan waktu untuk melakukan siaran secara berjaringan untuk memenuhi perintah aturan, regulasi, dan konten yaitu 10% selama setahun sampai yang akan ditentukan.

Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal


Regulasi penyiaran pada era reformasi dan berakhirnya era orba yaitu proses disahkannya UU penyiaran yang terjadi pada pemerintahan megawati dengan tujuan untuk menghasilkan kebijakan untuk memajukan industri penyiaran di Indonesia. Beberapa hal penting dalam regulasi penyiaran antara lain iklim demokrasi yang kekinian dimana adalah hak asasi manusia tentang kebebasan berbicara, berpendapat tanpa adanya intervensi; keterjaminan tentang keberagaman politik, budaya, kebebasan aliran dalam hal ide dan posisi dari kelompok minoritas seperti limitasi keberagaman seperti kekerasan dan pornografi yang tidak dapat dieksploitasi, dalam perkembangannya aspek keberagaman diafiliasikan sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks ideologi suatu negara, alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan yaitu untuk menyusun regulasi media agar tidak berbenturan dengan kesepakatan internasional misalnya perdagangan bebas.

Model regulasi penyiaran yaitu menurut Mc Quail  :
Model Otoriter
Memiliki tujuan yaitu mengupayakan dan menjadikan penyiaran sendiri sebagai suatu alat negara. Disini model orotiter memiliki ciri yaitu kuatnya di lembaga sensor atas konten terutama yang menyangkut tentang perbedaan. Konsekuensinya perbedaan itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak memiliki kegunaan bahkan tidak bertanggung jawab karena subversif. Konsensus dan standardisasi dilihat yaitu merupakan tujuan dari komunikasi massa.

Model Komunis

Model ini memiliki subkategori dari model otoriter. Penyiaran dari model ini memiliki tritunggal fungsi yaitu propaganda, agitasi, dan organisasi. Dilarangnya kepemilikan swasta karena model ini dilihat sebagai milik kelas pekerja dan media sebagai sarana sosialisasi, edukasi, informasi, motivasi, dan mobiliasi.

Model Barat- Paternalistik

Alasan disebut paternalistik karena adanya top-down. Kebijakan media bukan dari khalayak ingingkan namun lebih ke keyakinan yang dibuat dan dibutuhkan oleh masyarakat. model ini memiliki tugas untuk melekatkan berbagai fungsi sosial baik idnvidu atas lingkungan sosial.
Model Barat- Liberal
Mirip dengan model barat paternalistik namun berbeda atas fungsi media komersil. Penyedia informasi dan hiburan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan hubungan penting dengan aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan.
Model Demokrasi Partisipan
Model ini dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai kekuatan medium dan banyak hal yang terinspirasi oleh mazhab kritis. Model ini adalah berbagai media penyiaran alternatif dan sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.


Referensi
Armando, A. 2011. Televisi Jakarta di atas Indonesia. Yogyakarta: Bentang.
Masduki. 2007. Reguasi Penyiaran: dari Otoriter ke Liberal. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Hal. 119.
Asih, Benazir Sekar. 2014. Demokratisasi Penyiaran dalam Sistem Siaran Jaringan. Jakarta: Universitas Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your Ad Spot

Halaman