Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi
(Bagian II : Penyiaran)
Membangun Sistem Penyiaran yang Demokratis di Indonesi
Indonesia merupakan negara yang terdiri dari
berbagai macam latar belakang yang berbeda mulai dari suku, agama, ras, bahasa,
budaya. sehingga setiap masyarakat memiliki kebutuhan berbeda-beda termasuk
dalam kebutuhan memeroleh informasi (Armando, 2011). Banyaknya informasi yang
beredar dari berbagai penjuru daerah misalnya jawa atau jakarta tentunya
memiliki pembahasan informasi yang berbeda dan belum terbagi secara merata di
daerah yang lain. Penyebab yang ditimbulkan adalah penyiaran untuk membagikan
suatu informasi di negara Indonesia ini masih sentral padahal sudah diterapkan
kebijakan Sistem Siaran Jaringan di Indonesia.
Stasiun besar yaitu
Televisi Swasta Nasional bahkan tidak membagikan informasi yang sesuai untuk
masyarakat bahkan di bagian-bagian belum terjangkau. Berita yang beraneka ragam
misalnya tentang politik, ekonomi, dan budya diperoleh dari para penyumbang
dimana harus beradu dengan berbagai macam berita dari berbagai daerah. Budaya
juga mulai masuk dalam kehidupan masyarakat daerah tertentu. Gaya hidup yang
semakin kebarat-baratan menjadi asupan sehari-hari dan alurnya bertahap sesuai
berjalannya waktu. Sistem penyiaran yang terpusat, harus dapat dibilang
memiliki peran dan fungsi yaitu sebagai ruang publik.
Stasiun Televisi mempunyai fungsi yaitu menyiarkan berbagai
program, konten audio visual untuk masyarakat, namun hal tersebut juga menjadi
keuntungan tersendiri melalui bisnis tersebut. Bahkan stasiun Televisi Swasta
Nasional seharusnya menerapkan sistem siaran jaringan dimana harus menyediakan
sebesar 10% konten siaran lokal dari total durasi siaran setiap harinya. Konten
lokal seakan disingkirkan dan menyiarkan konten TV yang berpusat yaitu di
Jakarta. Strategi oleh pihak TV sendiri yaitu meletakkan konten lokal pada
waktu dini hari tentunya hal ini sangat melanggar aturan dari nilai demokratis
yang diharapkan serta sangat tidak memedulikan sistem siaran Jaringan.
Sistem siaran jaringan
harus dilaksanakan sesuai prinsip demokrasi hal ini juga berdampak pada
masyarakat indonesia agar memeroleh dan memenuhi kebutuhannya. Tujuannya
sendiri untuk dilaksanakannya Sistem Siaran Jaringan adalah Indonesia
menginginkan adanya keberagaman atas isi media dan keberagaman kepemilikan
media. Keduanya mungkin menjadi saling berpengaruh karena atas kepemilikan yang
berbeda, menghasilkan konten media yang berbeda pula dari tujuan seharusnya
yaitu kepentingan publik dan memiliki kepentingan lain dibalik adanya penyiaran
tersebut misalnya melalui iklan dan sebagainya.
Stasiun Televisi Swasta Nasional memiliki orientasi yaitu
keuntungan dengan memberikan atau menyiarkan berbagai konten yang mampu
menjaring seluruh masyarakat Indonesia. Masyarakat membutuhkan informasi yang
tidak bias hanya karena informasi tidak dapat mewakili seluruh masyarakat
Indonesia sendiri. Prinsip penyiaran yang terjadi yaitu berbagai macam stasiun
Televisi yang mulai bergabung untuk memeroleh keuntungan, adanya konglomerasi
media, adanya kepentingan politik di dalamnya dan sebagainya. Banyaknya
televisi swasta yang mulai tergerak, mereka hanya mengutamakan keuntungan
semata yaitu pemilik stasiun televisi. Hal ini tentunya berakibat pada
demokratisasi penyiaran yang tidak baik dan sejalan dengan UU. Berbagai
kepemilikan Stasiun Televisi Swasta Nasional juga memiliki dampak bagi konten yang
disiarkan juga di media.
Sistem siaran jaringan yaitu menurut UU Penyiaran yang ada pada
tahun 2002 dimana UU tersebut memuat beberapa pasal yang mendorong terjadinya
demokratisasi penyiaran. Demokratisasi penyiaran yaitu tentang Televisi
berjaringan yang berarti sistem penyiaran Televisi tidak lagi berpusat di
Jakarta (Armando, 2009). UU Penyiaran yaitu NO. 32 Tahun 2002 dimana adanya
stasiun TV yang menyiarkan berita secara nasional agar dapat menjangkau
masyarakat di seluruh Indonesia secara langsung dari Jakarta. Dalam Sistem
Jaringan tidak ada lagi stasiun TV Nasional namun sistem jaringan TV secara
nasional. Pada UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, mulai ada stasiun TV lokal luar
Jakarta yang mulai berdiri baik independen atau bagian dari jaringan stasiun TV
nasional. Jakarta tetap mendirikan stasiun TV lokal namun tidak otomatis dapat
membangun dan memeroleh izin karena harus melalui tahap atau prosedur yang
ditetapkan terlebih dahulu, luar jakarta dapat mendirikan stasiun TV lokal atau
memilih bahkan mencari stasiun TV lain dari jaringan mereka.
Sistem
siaran jaringan mulai ada sejak tahun 2002 dan melahirkan beberapa UU misal UU
penyiaran Tahun 2002 setelah presiden Megawati Seokarno Putri, UU Penyiaran
2002 diusulkan oleh DPR tidak ditandatangani olehnya (Masduki, 2007). Hal ini
mengakibatkan beberapa stasiun TV swasta nasional tidak menjalankan aturan dari
sistem siaran jaringan. Kebijakan sistem siaran jaringan mulai diabaikan saat
itu bahkan selama beberapa tahun dan pada suatu ketika akhirnya pemerintah
mengadakan rapat yang menyarankan agar KPI memberikan waktu untuk melakukan
siaran secara berjaringan untuk memenuhi perintah aturan, regulasi, dan konten
yaitu 10% selama setahun sampai yang akan ditentukan.
Regulasi Penyiaran dari Otoriter ke Liberal
Regulasi penyiaran pada era reformasi dan
berakhirnya era orba yaitu proses disahkannya UU penyiaran yang terjadi pada
pemerintahan megawati dengan tujuan untuk menghasilkan kebijakan untuk
memajukan industri penyiaran di Indonesia. Beberapa hal penting dalam
regulasi penyiaran antara lain iklim demokrasi yang kekinian dimana adalah hak
asasi manusia tentang kebebasan berbicara, berpendapat tanpa adanya intervensi;
keterjaminan tentang keberagaman politik, budaya, kebebasan aliran dalam hal ide
dan posisi dari kelompok minoritas seperti limitasi keberagaman seperti
kekerasan dan pornografi yang tidak dapat dieksploitasi, dalam perkembangannya
aspek keberagaman diafiliasikan sebagai aspek politik dan ekonomi dalam konteks
ideologi suatu negara, alasan ekonomi mengapa regulasi media diperlukan yaitu
untuk menyusun regulasi media agar tidak berbenturan dengan kesepakatan
internasional misalnya perdagangan bebas.
Model
regulasi penyiaran yaitu menurut Mc Quail :
Model Otoriter
Memiliki tujuan yaitu mengupayakan dan menjadikan penyiaran
sendiri sebagai suatu alat negara. Disini model orotiter memiliki ciri yaitu
kuatnya di lembaga sensor atas konten terutama yang menyangkut tentang
perbedaan. Konsekuensinya perbedaan itu dipandang sebagai sesuatu yang tidak
memiliki kegunaan bahkan tidak bertanggung jawab karena subversif. Konsensus
dan standardisasi dilihat yaitu merupakan tujuan dari komunikasi massa.
Model Komunis
Model ini memiliki subkategori dari model otoriter. Penyiaran
dari model ini memiliki tritunggal fungsi yaitu propaganda, agitasi, dan
organisasi. Dilarangnya kepemilikan swasta karena model ini dilihat sebagai
milik kelas pekerja dan media sebagai sarana sosialisasi, edukasi, informasi,
motivasi, dan mobiliasi.
Model Barat- Paternalistik
Alasan disebut
paternalistik karena adanya top-down. Kebijakan media bukan dari khalayak
ingingkan namun lebih ke keyakinan yang dibuat dan dibutuhkan oleh masyarakat.
model ini memiliki tugas untuk melekatkan berbagai fungsi sosial baik idnvidu
atas lingkungan sosial.
Model Barat- Liberal
Mirip dengan
model barat paternalistik namun berbeda atas fungsi media komersil. Penyedia
informasi dan hiburan juga memiliki fungsi untuk mengembangkan hubungan penting
dengan aspek lain yang mendukung independensi ekonomi dan keuangan.
Model Demokrasi Partisipan
Model ini
dikembangkan oleh mereka yang mempercayai sebagai kekuatan medium dan banyak
hal yang terinspirasi oleh mazhab kritis. Model ini adalah berbagai media
penyiaran alternatif dan sifat komunikasi dalam model ini adalah dua arah.
Referensi
Armando, A. 2011. Televisi Jakarta di atas Indonesia.
Yogyakarta: Bentang.
Masduki. 2007. Reguasi Penyiaran: dari Otoriter ke
Liberal. Yogyakarta: LkiS Yogyakarta. Hal. 119.
Asih, Benazir Sekar. 2014. Demokratisasi Penyiaran dalam Sistem
Siaran Jaringan. Jakarta: Universitas Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar