Discuss Communication Studies In A Brief, Accurate And In-Depth From Reliable Source

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Jumat, 15 Maret 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA KOLONIAL BELANDA DAN JEPANG

source: how-bee.blogspot.com

Pers Belanda

            Pada masa penjajahan Belanda, Belanda masuk ke Indonesia mulai tahun 1596 yakni Belanda telah menguasai Indonesia selama 350 tahun lamanya. Belanda menguasai beberapa aspek di Indonesia seperti ekonomi, politik, perdagangan, dan kepemerintahan. Pers merupakan suatu alat media untuk menyampaikan informasi melalui media massa seperti surat kabar, majalah, tabloid dan sebagainya. Pada penjajahan kolonial Belanda, pers digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi aparat VOC.

Berfokus pada pers Belanda yang ada di Indonesia, pers dikenal mulai abad ke-18 pada tahun 1744 yang dimunculkan surat kabar pertama yaitu Bataviasch Nouvelles dibawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Munculnya Bataviasch Nouvelles hanya bertahan 2 tahun karena VOC melarangnya untuk terbit. Setelah Bataviasch Nouvelles, pada tahun 1776 muncul surat kabar bernama Vendu Nieuws yang diterbitkan oleh L. Dominicus. Surat kabar ini merupakan media iklan mingguan, terutama berita lelang. Vendue Nieuwsi merupakan surat kabar pertama dan terakhir yang terbit selama masa VOC kemudian akhirnya Vendu Nieuws menghentikan penerbitannya pada tahun 1809 dibawa pemerintahan Jenderal Herman Willem Daendels.

Awal abad ke-19, pada tanggal 15 Januari 1810 muncul Bataviasch Kolonial Courant kemudian tahun 1812 pemerintah Inggris mengganti dengan Java Government Gazettei yang mana sebuah mingguan yang sebagian besar berbahasa Inggris yang isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Akhirnya sewaktu Belanda kembali berkuasa pada tahun 1816, digantikan oleh Bataviasche Courant. Dua belas tahun kemudian, surat kabar tersebut diteruskan dengan nama Javasche Courant.

Alat percetakan pertama di Indonesia yang dibawa oleh pria asal Rotterdam yang bernama W. Bruining, menjadi ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, Bruining ditawari sejumlah uang untuk segera kembali ke Nederland dikarenakan ia dilarang untuk menggunakan alat tersebut tetapi Bruining menolak tawaran itu dan pada tahun 1851 ia berhasil menerbitkan surat kabar mingguan  yaitu Het Bataviasch Advertentie Blad. Dalam surat kabar ini, isinya hanya berupa iklan dan berita-berita umum lain yang dikutip dari penerbitan resmi yang terbit di Nederland (Staatscourant) dan berita di daerah jajahan dari Javasche Courant.

Pada tahun 1852, Java Bode di Betawi muncul sebagai pengganti Het Bataviasche Advertentie Blad yang didirikan oleh W.Bruining dan dibantu oleh H.M van Dorp, van Hazen Noman dan Kolff. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi surat kabar harian yang sebelumnya yaitu diedarkan secara mingguan.
Java Bode merupakan surat kabar yang resmi. Surat kabar ini lebih mengedepankan kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Java Bode selalu mendapatkan berita-berita khusus yang berkaitan dengan pemerintah. Isi Java Bode sendiri berisikan hal-hal yang terjadi di kalangan pemerintah serta rencana-rencana peraturan pemerintah. Seiring berjalannya waktu, surat kabar semakin banyak bermunculan di kota lain seperti Surabaya, Bandung, Cirebon, Betawi, Surakarta, Sumatra, Semarang, Yogyakarta, Padang, Palembang, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Makassar.

Kantor Berita ANETA

Perkembangan surat kabar di Belanda sangat berhubungan dengan kedudukan lalu lintas telegram. Dalam perkembangannya, surat kabar Belanda makin lama makin berisi berita-berita yang berasalkan telegram. Pada 1 April 1917 saat Perang Dunia I, seorang bekas pegawai kantor telegraf dan pernah bekerja untuk Bataviasch Nieuwsbllad dan Java Bode yaitu I, D.W. Beretty mendirikan Kantor Berita ANETA (Algemeen Nieuwsblad En Telegraaf Agentschap) atau dalam bahasa Indonesia yaitu Keagenan Berita Umum dan Telegrap. Selama Perang Dunia I, Kantor Berita ANETA melayani berita-berita penting yang terjadi selama di medan pertempuran dalam waktu 24 jam.

Persbreidel Ordoonantie dan Haatzaai Artikelen

Persbreidel merupakan penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau melawan hukum. Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan dan mencetuskan adanya Persbreidel Ordoonantie, dan dikatakan bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbitan tertentu yang dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”.

Haatzaai Artikelen merupakan tindakan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah Belanda. Haatzaai Artikelen berisikan pasal-pasal yang mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan rasa kebencian, permusuhan, dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland, yang diatur dalam pasal 154-157 dari Werboek van Strafrecht. mereka yang tulisan-tulisannya menyerang praktek kolonial Belanda, seperti Raden Mas Soewardi Soeryaningrat tahun 1920,dalam kedudukannya sebagai redaktur penanggung jawab mingguan Persatoean Hindia, karena memuat artikel "Volk dan Pemerintah", dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Demikian juga dengan Mas Marco Katodikromo, karena dituduh melanggar ketentuan tersebut dua kali, ia dijatuhi hukuman enam bulan penjara.



Solosche Radio Vereniging (SRV)

Radio Republik Indonesia (RRI) Surakarta atau lebih populer dengan sebutan RRI Solo tidak terlepas dari Solosche Radio Vereniging (SRV) yang dibidani oleh Pengageng Praja Mangkunegaran. Rapat yang dihadiri oleh 9 orang membuat sebuah kesepakatan dan berhasil mendirikan Perhimpunan Radio Omroep yang diberi nama Solosche Radio Vereniging (SRV). 

Perkembangan SRV dan Pendirian Cabang-Cabang di Luar Solo

Tiga Program Kerja

            Berdiri sejak 1 April 1933, Solosche Radio Vereeniging (SRV) telah melakukan langkah-langkah strategis pada bidang penyiaran tanah air. Dalam Wiryawan (2011, h. 95-96), terdapat tiga program kerja yang telah direalisasikan dan  menjadi tonggak-tonggak sejarah penyiaran di Indonesia. Tiga program kerja tersebut yaitu:

1.       Pembentukan cabang-cabang stasiun di luar Solo.
2.       Penyediaan sarana dan prasarana yaitu gedung studio dan pemancar atau zender.
3.      Penataan terhadap program isi siaran yang mencerminkan budaya Ketimuran.

Siaran SRV Menjangkau Nusantara

            Melalui pembenahan baik internal maupun eksternal yang terus-menerus dilakukan membuat SRV di Pusat di Kota Solo terus berkembang dan semakin kuat. SRV mengalami perkembangan yang pesat. Dapat dilihat dari jumlah anggota SRV pada awal berdiri beranggotakan 100 orang, kemudian meningkat menjadi 4000 orang pada tahun 1940-an.  Jumlah tersebut tersebar diseluruh nusantara.

Menyebarnya ‘Virus’ SRV

SRV mengembangkan sayapnya di berbagai kota di Nusantara dengan cara melakukan perluasan jaringan melalui pendirian konsul atau cabang. Dijelaskan dalam Wiryawan (2011, h. 101) konsul adalah kelompok pendengar SRV yang semula berada di luar kota Solo, kemudian mereka mampu untuk mendirikan stasiun radio secara mandiri. Perkumpulan radio yang tumbuh di berbagai kota menggambarkan suatu “demam radio” atau mewabahnya “virus SRV”. Dapat dikatakan virus SRV karena setelah SRV berdiri di Solo, tumbuh semangat mendirikan perkumpulan radio.

Penyebab adanya “virus SRV” cepat mewabah dikarenakan oleh beberapa hal (Wiryawan, 2011, h. 101):

1.      Siaran SRV dapat dijangkau di berbagai kota di Indonesia karena kekuatan zender milik SRV cukup besar hingga mampu menjangkau berbagai kota.
2.      SRV menawarkan alternatif program berisi siaran yang sama sekali baru sehingga sangat kompetitif dibandingkan dengan siaran Radio Belanda.
3.      Secara intensif SRV membina Radio Ketimuran di beberapa kota disamping memberikan bantuan dalam hal teknis pengelolaan.
4.      SRV memberi tawaran keterbukaan, akuntabilitas, dan iklim demokratis dalam mengelola lembaga penyiaran.
5.      Sistem organisasi dan produk (siaran radio) yang ditawarkan SRV amat menarik bagi bangsa Indonesia yang pada saat itu masih terjajah, sehingga sejumlah daerah mendirikan perwakilan SRV.

Berikut ini merupakan beberapa lembaga penyiaran cabang SRV di berbagai kota di Indonesia (Wiryawan, 2011, h. 106-128):

1.      VORO Jakarta (Vereeniging voor Ootersche Radio Oemroepi), berdiri pada April 1934 dipimpin oleh Gunari Wiryodinoto. VORO  tidak pernah kekurangan bahan dalam melakukan siaran, karena ada banyak artis, pesinden Jawa atau Sunda di Jakarta, dan kelompok musik dari berbagai suku bangsa.
2.      VORL Bandung (Vereeniging Oostersche Radio Luisteraars), cabang SRV yang berdiri pada 30 April 1934 ini tidak pernah kesulitan dalam pengadaan materi siaran karena Bandung merupakan pusat kegiatan kesenian Pasundan seperti wayang golek, kecapi, celempungan dan lain-lain.
3.      VORS (Vereeniging Oostersche Radio Surabaya) dan CIRVO (Chinese Inhemse Radio-Luisteraars Vereeniging Oost)  Surabaya. Setelah beberapa tahun berdiri, VORS dihapuskan oleh pengurus pusat SRV sejak Oktober 1937  dan diganti dengan Organisasi Perwakilan SRV yaitu semacam perkumpulan pendengar. Penghapusan itu dimungkinkan karena VORS membiayai operasional stasiun radio. Setelah redup, VORS digantikan kemunculan radio ketimuran yaitu CIRVO.
4.      Radio Semarang, mulai mengudara tahun 1936. Cabang SRV ini tidak seberuntung cabang di kota lain karena kelompok kesenian di kota Semarang relatif terbatas. Sehingga Radio Semarang harus mendatangkan grup musik atau artis dari luar kota.
5.      MAVRO Yogyakarta (Mataramsche Vereeniging voor Radio Oemroep). MAVRO pertama kali bersiaran pada tanggal 22 Februari 1934 menggunakan pemancar milik van Deutekom dengan gelombag 55,97 kemudian diubah menjadi 153,06.
6.      Cabang SRV Bogor, Purwokerto, dan Madiun. Ketiga kota ini tidak berhasil mendirikan stasiun radio secara mandiri.
7.      Cabang Medan, Sumatera Utara ini merupakan cabang SRV yang paling akhir berdiri.
8.      Siaran Radio Indonesia (SRI) di Solo. SRI ini merupakan perkumpulan Radio Ketimuran yang berdiri pada Oktober 1934. SRI dikelola oleh Keraton Kasunanan Surakata, di bawah pimpinan Pangeran Suryohamijoyo dan Mulyadi Joyomartono, bertempat di Pendapa Suryohamijayan.
9.      Kerjasama Siaran antara SRV dengan SRI dan Keraton Kasunanan Solo. Sebelum lahir, SRV telah lebih dulu bekerjasama dengan pihak Keraton Kasunanan. SRV memperoleh persetujuan dari Raja Kasunanan Surakarta, Susuhan Paku Buwono X, untuk menyiarkan Sekaten. Hubungan antara SRV dengan Keraton Kasunanan terus terjalin dengan baik. Sehingga SRV diperbolehkan menyiarkan acara klenengan, tari Bedaya dan Srimpi, dari dalam keraton.

Bentuk Lembaga Penyiaran

Radio ketimuran yang dimotori oleh SRV merintis siaran berjaringan yang dilakukan di Solo. Pada saat itu istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga penyiaran milik Bangsa Indonesia adalah “Perkumpulan Radio Ketimuran”. Kata perkumpulan digunakan karena para pendengar siaran radio merupakan khalayak tertentu yang memiliki keanggotaan terdaftar. Mereka berkewajiban untuk membayar iuran kepada pengurus radio. Jadi para pendengar membentuk perkumpulan. Model interaksi seperti ini mirip dengan jasa penyiaran berlangganan (pay broadcasting). Penggunaan kata “Ketimuran” bertujuan untuk menegaskan bahwa orientasi mereka adalah kepada jati diri sebagai Bangsa Timur bukan Bangsa Barat atau Belanda.

Kemandirian

Kemandirian Bangsa Indonesia terlihat pada beberapa hal, yaitu:
1.      Kemandirian gagasan. Artinya ide untuk mendirikan stasiun radio bermula dari keprihatinan atas maraknya budaya asing yang menguasai produksi radio Belanda dan produksi Piringan Hitam.
2.      Kemandirian keuangan. Arti kemandirian tersebut adalah para pendiri SRV sepakat untuk melakukan iuran secara spontan, mereka juga meminta bantuan Mangkunegoro VII untuk kekurangan lainnya, dan mencari tambahan anggota untuk menambah pemasukan iuran anggota.
3.      Kemandirian sumber daya manusia. Para pengurus, teknisi, dan pengelola Radio ketimuran adalah kaum pribumi tanpa campur tangan asing (Belanda).

Isi Siaran Kesenian Sebagai Persemaian Nasionalisme dan Kemenangan Perlawanan Budaya Radio Ketimuran

SRV berorientasi pada pendengar budaya Ketimuran, sehingga semua kesenian Timur menjadi materi siaran SRV, dimana para pendengarnya terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang tinggal di kepulauan Nusantara. Artinya SRV merupakan stasiun radio nasional baik dalam arti jangkauan siaran secara geografis maupun isi maupun konten siarannya. Pembentukan cabang-cabang SRV di berbagai kota memperkuat komitmen SRV untuk mengembangkan isi siarannya berupa kesenian dan budaya Timur. Tidak hanya itu, SRV juga menyiarkan kesenian Melayu, Sunda, Bali, Ambon, Tionghoa, Arab, dan sebagainya.

            Kebijakan isi siaran dengan segmen Kesenian Timur yang dilakukan SRV menjadi kebijakan Radio Ketimuran yang lain, yakni siaran radio Ketimuran harus memberi ruang seluas-luasnya untuk budaya dan seni Timur. Selain bersifat hiburan, siaran Radio Ketimuran juga berupa siaran pidato (monolog), warta berita, dan siaran anak-anak. Isi siaran pidato yang dimaksudkan seperti siaran agama, pendidikan, masalah aktual, kesehatan, olahraga, dan kebudayaan. Agar dapat melangsungkan siaran pidato, para pengurus harus memperoleh izin dari Biro Siaran Radio Dinas Pos Telefon dan Telegraf Pemerintah Hindia Belanda. Mereka harus menyerahkan naskah pidato terlebih dahulu.

            SRV dan Radio Ketimuran melakukan perlawanan budaya dengan cara menyiarkan lagu-lagu dari berbagai daerah di Nusantara. Hal tersebut merupakan sebuah penolakan atas hegemoni budaya Barat dan ekspresi tentang identitas budaya orang-orang Timur. Penyiaran kesenian dan kebudayaan melalui radio memberi makna yang penting bagi Bangsa Indonesia yang selama itu terjajah. Kesenian daerah yang berkembang di berbagai wilayah Nusantara melalui siaran radio, memberi semangat dan rasa percaya diri bagi bangsa ini, bahwa Bangsa Indonesia mempunyai daya sendiri, memiliki identitas yang berbeda dengan Bangsa Belanda. Siaran kesenian di radio bermakna sebagai pembangun semangat kebangsaan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai simbol identitas bangsa. 


Media dan Teknik Baru Propaganda Jepang
I.                   Acuan Dasar Kebijakan Propaganda Jepang

1.    Sendenbu
            Pemerintahan militer Jepang ini berpikir bahwa orang Indonesia prilaku dan juga cara berpikirnya harus disamakan dengan prilaku dan juga pemikiran Jepang maka dari itu pemerintahan Jepang melakukan propaganda. Maka dari itu dibentuklah Sendenbu atau departemen propaganda oleh badan pemerintahan militer pada bulan Agustus 1942. Departemen ini bertanggung jawab atas propaganda serta informasi mengenai pemerintahan sipil. Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Sendenbu ini ditujukan untuk penduduk sipil di Jawa. Dalam departemen ini terdapat tiga seksi yaitu Seksi Administrasi, Seksi Berita dan Pers, dan Seksi Propaganda.
            Selain itu dibentuk juga organisasi yang bernama Keimin Bunka Shidôsho atau “Poesat Keboedajaan” pada April 1943. Organisasi ini bertujuan mempromosikan kesenian tradisional Indonesia, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan Jepang, dan mendidik dan melatih seniman Indonesia. Setelah dibentuk organisasi dan juga biro khusus sendenbu tidak lagi secara langsung menjalankan kegiatan propaganda. Sendenbu ini akhirnya bertugas untuk menyusun rancangan dan bahan propaganda setelah itu rencana tersebut dibagikan untuk dilaksanakan oleh unit-unit dibawahnya.



2.    Rancangan propaganda dan media
     Setiap tahunnya anggaran dan juga rancangan mengenai propaganda dibuat oleh Gunseikan. Rancangan propaganda tersebut lalu dilanjutkan ke organisasi-organisasi yang berada dibawahnya. Untuk melaksanakan propaganda ini maka dipergunakanlah berbagai media seperti surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pameran, pidato, drama, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas (kamishibai), musik, dan film (2015, hal 256). Pada masa Jepang media utama yang digunakan untuk melakukan propaganda adalah film, seni panggung, kamishibai¸dan musik. Media ini menjadi media utama karena media ini paling efektif dalam menyebarkan propaganda pada masyarakat Jawa karena kebanyakan masyarakat ini tinggal di desa sehingga tidak berpendidikan dan juga buta huruf. Maka dari itu pemerintah Jepang mengirimkan kelompok-kelompok yang melakukan propaganda berserta alat pendukungnya ke desa-desa untuk melakukan pertunjukan.
                                            
    II.            Media Propaganda Baru
1.          Film-film yang dipertunjukan di Jawa

      Film merupakan salah satu media utama dalam menyebarkan propaganda. Kebijakan mengenai produksi, distribusi, dan penyaringan film diambil dari kebijakan Jepang pada masa perang yang dikembangkan dari tahun1930-an. Pemerintahan Jepang memegang kontrol sepenuhnya peredaran film. Maka dari itu angkatan darat ke 16 dan juga staf yang mengurus propaganda menyita seluruh perusahaan film. Pada Oktober 1942 pemerintah Jepang membuat sebuah organisasi yang bertugas untuk menjalankan kebijakan film. Organisasi ini disebut Jawa Eiga Kôsha (Perusahaan Film Jawa). Tetapi peraturan tersebut diperbaiki atas dasar  Nanpô Eiga Kôsaku Yôryô atau Kerangka Propaganda Film di Wilayah-Wilayah Selatan yang dikeluarkan oleh pemerintah Tokyo pada September 1942 (2015, hal 258).

          Dalam perubahan peraturan tersebut ditetapkan bahwa industri perfilman di wilayah Asia Tenggara harus dipercayakan kepada dua perusahaan yaitu Naichi’ei (Perusahaan Film Jepang) dan Eihai (Perusahaan Distribusi Film Jepang). Kedua perusahaan tersebut dibentuk pada awal tahun 1941 dengan tujuan untuk memproduksi dan memonopoli distribusi film. Dengan adanya dua cabang perusahaan ini di Jawa maka Jawa Eiga Kôsha dibubarkan.
Pada masa ini peredaran film sangat dibatasi. Pemerintahan Jepang melarang beredarnya film-film dari negara sekutu. Film-film yang diputar merupakan film-film yang berasal dari Jepang. Setiap tahunnya sebanyak 52 film diimpor dari Jepang. Selain itu jepang juga mengimpor sebanyak 32 film dari Cina, dan 6 film dari negeri sekutu Jepang. Tetapi hal tersebut diragukan karena film-film yang diputar pada masa pendudukan Jepang merupakan film-film Jepang yang di impor atau di produksi di Jawa.

Selain itu pemerintahan Jepang membuat film dokumenter, kebudayaan, dan film berita. Usaha film dokumenter ini dimulai oleh Jawa Eiga Kôsha pada September 1942. Tetapi pada April 1943 usaha ini dilanjutkan oleh Nichi’ei. Nichi’ei memproduksi film dokumenter setiap dua minggu sekali.

Sementara untuk film berita pada mulanya diurus oleh Djawa Eiga Kosha dengan judul “Djawa Bahroe”. Film berita ini disebarkan hingga nomor delapan pada Maret 1943. Selanjutnya Nichi’ei membuat film berita baru yang diterbitkan setiap dua minggu. Film berita tersebut bernama “Berita Film di Djawa/ Djawa Nyûsu” dan bertahan hingga produksi ke-19. Semenjak awal 1944 film berita ini berganti nama lagi menjadi Hanpô Hôdô.

2.          Pemutaran film di masyarakat Jawa

     Pemutaran film dan juga distribusi film pada masa pemerintahan Jepang ini diatur oleh Eihai. Eihai cabang Jakarta ini dibentuk pada April 1943. Eihai ini bertugas menyeleksi film yang akan diedarkan, menyebarkan film tersebut ke bioskop, mengelola gedung bioskop yang disita, dan memutar film di lapangan. Pada April 1943 ada 117 gedung bioskop yang dipergunakan sebagai gedung bioskop komersil. Walaupun gedung bioskop dikuasai oleh Jepang tetapi persebaran lokasi gedung bioskop ini tidak merata sehingga propaganda tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Gedung bioskop ini persebarannya sangat tidak merata karena jumlah gedung bioskop dan penduduk tidak sebanding.Karena situasi ini maka pemerintah Jepang akhirnya mengatasinya dengan mengadakan “bioskop keliling”. Upaya ini dimulai pada Agustus 1942. Karena bioskop keliling ini berhasil maka kantor pusat Eihai meningkatkan jumlah penyelenggaraan bioskop keliling. Hingga Desember 1943, Jawa Eihai telah membuat lima pangkalan bioskop keliling dan juga lima belas tim pemutar (2015, hal 265). Pada saat persebaran film di bioskop keliling tersebut terdapat sebuah masalah yaitu seberapa banyak masyarakat memahami isi film tersebut. Maka untuk mengatasi masalah masyarakat yang kurang memahami maka ditambahkanlah teks terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi karena banyak masyarakat yang buta huruf maka disediakan juga penerjemah yang menjelaskan isi film tersebut kepada masyarakat.

3.          Media propaganda audiovisual lainnya

  Selain menggunakan film, pemerintah Jepang juga menyebarkan propagandanya dengan media lainnya. Media-media tersebut yaitu:
       Drama
Propaganda Jepang juga dilakukan dengan menggunakan pertunjukan panggung.  Mulanya seni sandiwara ini dianggap sebagai seni murah berbeda dengan puisi dan juga novel. Untuk menaikan standar tersebut maka Sendenbu mendirikan sekolah drama (Sekolah Tonil) di Jakarta dan berusaha mendidik penulis naskah, aktor, dan staf lainnya.
Dengan berkembangnya seni panggung ini maka muncul kelompok-kelompok teater baru yang disuruh pemerintah menampilkan drama baru. Karena teater ini berkembang maka dibentuklah Jawa Engeki Kyôkai atau “Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa” (POSD).  Pada bulan April 1943 dibentuk Keimin Bunka Shidôsho atau “Poesat Keboedajaan”. Keimin Bunka Shidôsho ini bertugas untuk menentukan jenis cerita apa yang harus ditampilkan.
         Wayang
Selain seni teater modren, seni tradisional juga dipergunakan pemerintah Jepang sebagai alat propaganda. Salah satu seni tradisional yang dipergunakan sebagai alat propaganda adalah wayang. Pertunjukan wayang ini berbeda dari biasanya karena durasinya hanya tiga jam saja. Pertunjukan wayang ini bertujuan untuk meningkatkan semangat perang pada kalangan rakyat. Pemerintahan Jepang juga memperkenalkan “wayang sandiwara”. Wayang sandiwara ini mirip dengan wayang kulit tetapi yang membedakan adalah dalam wayang sandiwara adalah wajah dari wayangnya sama seperti manusia biasa. 
         Tarian
Tarian juga dipergunakan Jepang sebagai alat propaganda. Menurut Djawa Baroe terbitan 1 Desember 1943 halaman 31, terdapat sebuah tarian yang berjudul “Tari Meroentoehkan Amerika/ Inggeris”. Tarian ini mengisahkan mengenai seorang putri matahari (Jepang) melawan putri dari negri jahat (Amerika/Inggris) (2015, hlm. 272).
       Teater Kertas (Kamishibai)
Kamishibai ini merupakan sebuah kesenian dikalangan anak-anak Jepang. Selain itu kesenian ini juga sering dipergunakan sebagai hiburan atau alat mencari uang. Kesenian ini mirip dengan wayang. Pemerintah Jepang menggunakan pertunjukan ini untuk menyebarkan propaganda di kalangan anak-anak dan dewasa. Selain itu cara ini juga dianggap sebagai cara yang murah dan juga mudah untuk menyampaikan pesan pemerintah. Menurut laporan bulanan Sendenbu, kamishibai dipergunakan untuk menyampaikan propaganda di beberapa tempat seperti sekolah, unit kerja dan desa-desa. Menurut Besut Hadiwardoyo yang merupakan bekas dalang Kamishibai tema-tema yang sering diangkat adalah tema kemiliteran dan juga peningatan moral.
       Nyanyian
Pada pemerintahan Jepang, lagu juga digunakan sebagai salah satu media dalam melakukan propaganda. Lagu ini dipergunakan untuk menyebarkan gagasan Jepang serta untuk meningkatkan moral. Terdapat dua jenis lagu yang dipromosikan. Lagu yang pertama adalah lagu Jepang yang diimpor ke Jawa dan lagu propaganda yang diciptakan di Indonesia. Pada awal November 1942 koran harian Sinar Matahari di Yogyakarta menerbitkan sebuah buklet berjudul Njanjian Nippon boeat oemoem. Dalam buku ini diperkenalkan tiga puluh empat lagu Jepang lengkap dengan nada musik Jawa. Setelah itu muncul lagi sebuah buku yang ditujukan untuk anak-anak yang berjudul Aneka Warna Njanjian Kemakmoeran Bersama Asia Timoer Raja. Pada Desember juga diterbitkan lagi buku yang berisikan kumpulan lagu Jepang uang berjudul Seinen no Uta (Lagu-lagu Pemuda). Didalam buku tersebut terdapat lagu-lagu berbahasa Indonesia dan juga dilengkapi dengan notnya. Lagu tersebut berisi pesan untuk meningkatkan moral dan semangat orang Asia Tenggara.
Karena lagu ini merupakan salah satu media yang disukai masyarakat maka dibentuklah sebuah organisasi yang menaungi komposisi di Indonesia.Organisasi tersebut dibentuk pada April 1943 dengan nama Keimin Bunka Shidôsho.
       Radio
Pada saat pendudukan Jepang, pemerintah melakukan kontrol ketat terhadap siaran radio. Siaran yang boleh beroptasi hanyalah NHK (Siaran Radio Jepang) sementara siaran yang dilakukan oleh radio swasta tidak boleh dilakukan. Untuk mengawasi penyiaran ini maka dibentuklah sebuah stasiun pemancar yang dikontrol oleh Sendenbu hingga Jawa Hôso Karikyoku (Biro Pengawas Siaran di Jawa). Penyiaran ini dilakukan setiap hari dengan dua kali jeda. Siaran berita yang disiarkan di radio ini lamanya sekitar 3,5 Jam. Efek dari penggunaan radio ini sangat luas dibandingkan dengan film dan seni panggungnya. Penggunaan radio ini juga merupakan sebuah media propaganda yang efektif karena biaya produksinya murah tetapi efeknya lumayan. Tetapi karena persebaran radio kurang maka pemerintah membangun pengeras suara yang disebut “radio tô” atau menara radio di tempat umum.

Daftar Pustaka

Darmanto dan Istiyono, (2013). RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.

Kurusawa, A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Suryomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.  

Wiryawan, H. (2011). Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia. Solo: LPPS.

Kurusawa, A. (2015). Kuasa Jepang di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.


Author : 
Nada Nusa Parenta
Gabriela Arnetta Ng
Albertus Agung Fandy Salama






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your Ad Spot

Halaman