Pers Belanda
Pada
masa penjajahan Belanda, Belanda masuk ke Indonesia mulai tahun 1596 yakni
Belanda telah menguasai Indonesia selama 350 tahun lamanya. Belanda menguasai
beberapa aspek di Indonesia seperti ekonomi, politik, perdagangan, dan
kepemerintahan. Pers merupakan suatu alat media untuk menyampaikan informasi
melalui media massa seperti surat kabar, majalah, tabloid dan sebagainya. Pada
penjajahan kolonial Belanda, pers digunakan untuk memenuhi kebutuhan informasi
aparat VOC.
Berfokus pada pers
Belanda yang ada di Indonesia, pers dikenal mulai abad ke-18 pada tahun 1744
yang dimunculkan surat kabar pertama yaitu Bataviasch Nouvelles dibawah
kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Munculnya Bataviasch
Nouvelles hanya bertahan 2 tahun karena VOC melarangnya untuk terbit.
Setelah Bataviasch Nouvelles, pada tahun 1776 muncul surat
kabar bernama Vendu Nieuws yang diterbitkan oleh L. Dominicus.
Surat kabar ini merupakan media iklan mingguan, terutama berita lelang. Vendue
Nieuwsi merupakan surat kabar pertama dan terakhir yang terbit selama
masa VOC kemudian akhirnya Vendu Nieuws menghentikan
penerbitannya pada tahun 1809 dibawa pemerintahan Jenderal Herman Willem
Daendels.
Awal abad ke-19, pada
tanggal 15 Januari 1810 muncul Bataviasch Kolonial Courant kemudian
tahun 1812 pemerintah Inggris mengganti dengan Java Government
Gazettei yang mana sebuah mingguan yang sebagian besar berbahasa
Inggris yang isinya menceritakan perseteruan antara Belanda dan Inggris. Akhirnya
sewaktu Belanda kembali berkuasa pada tahun 1816, digantikan oleh Bataviasche
Courant. Dua belas tahun kemudian, surat kabar tersebut diteruskan dengan
nama Javasche Courant.
Alat percetakan pertama
di Indonesia yang dibawa oleh pria asal Rotterdam yang bernama W. Bruining,
menjadi ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Kemudian, Bruining ditawari
sejumlah uang untuk segera kembali ke Nederland dikarenakan ia dilarang untuk
menggunakan alat tersebut tetapi Bruining menolak tawaran itu dan pada tahun
1851 ia berhasil menerbitkan surat kabar mingguan yaitu Het
Bataviasch Advertentie Blad. Dalam surat kabar ini, isinya hanya
berupa iklan dan berita-berita umum lain yang dikutip dari penerbitan resmi
yang terbit di Nederland (Staatscourant) dan berita di daerah jajahan
dari Javasche Courant.
Pada tahun 1852, Java
Bode di Betawi muncul sebagai pengganti Het Bataviasche
Advertentie Blad yang didirikan oleh W.Bruining dan dibantu oleh H.M
van Dorp, van Hazen Noman dan Kolff. Pada akhir tahun 1869, Java Bode menjadi
surat kabar harian yang sebelumnya yaitu diedarkan secara mingguan.
Java Bode merupakan surat kabar yang resmi. Surat kabar ini lebih mengedepankan
kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam hal ini, Java Bode selalu
mendapatkan berita-berita khusus yang berkaitan dengan pemerintah. Isi Java
Bode sendiri berisikan hal-hal yang terjadi di kalangan pemerintah
serta rencana-rencana peraturan pemerintah. Seiring berjalannya waktu, surat
kabar semakin banyak bermunculan di kota lain seperti Surabaya, Bandung,
Cirebon, Betawi, Surakarta, Sumatra, Semarang, Yogyakarta, Padang, Palembang,
Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Makassar.
Kantor Berita ANETA
Perkembangan surat kabar
di Belanda sangat berhubungan dengan kedudukan lalu lintas telegram. Dalam
perkembangannya, surat kabar Belanda makin lama makin berisi berita-berita yang
berasalkan telegram. Pada 1 April 1917 saat Perang Dunia I, seorang bekas
pegawai kantor telegraf dan pernah bekerja untuk Bataviasch Nieuwsbllad
dan Java Bode yaitu I, D.W. Beretty mendirikan Kantor Berita ANETA (Algemeen
Nieuwsblad En Telegraaf Agentschap) atau dalam bahasa Indonesia yaitu
Keagenan Berita Umum dan Telegrap. Selama Perang Dunia I, Kantor Berita ANETA
melayani berita-berita penting yang terjadi selama di medan pertempuran dalam
waktu 24 jam.
Persbreidel Ordoonantie dan Haatzaai Artikelen
Persbreidel
merupakan penghentian penerbitan dan peredaran atau penyiaran secara paksa atau
melawan hukum. Pada 7 September 1931, pemerintah kolonial melahirkan dan
mencetuskan adanya Persbreidel Ordoonantie, dan dikatakan
bahwa Gubernur Jenderal diberi hak untuk melarang terbitan tertentu yang
dinilai bisa “mengganggu ketertiban umum”.
Haatzaai Artikelen merupakan tindakan terhadap pers yang dilakukan oleh pemerintah
Belanda. Haatzaai Artikelen berisikan pasal-pasal yang
mengancam hukuman terhadap siapapun yang menyebarkan rasa kebencian,
permusuhan, dan penghinaan terhadap pemerintah Nederland, yang diatur dalam
pasal 154-157 dari Werboek van Strafrecht. mereka yang
tulisan-tulisannya menyerang praktek kolonial Belanda, seperti Raden Mas
Soewardi Soeryaningrat tahun 1920,dalam kedudukannya sebagai redaktur
penanggung jawab mingguan Persatoean Hindia, karena memuat artikel "Volk
dan Pemerintah", dijatuhi hukuman tiga bulan penjara. Demikian juga dengan
Mas Marco Katodikromo, karena dituduh melanggar ketentuan tersebut dua kali, ia
dijatuhi hukuman enam bulan penjara.
Solosche Radio Vereniging (SRV)
Radio Republik Indonesia
(RRI) Surakarta atau lebih populer dengan sebutan RRI Solo tidak terlepas
dari Solosche Radio Vereniging (SRV) yang dibidani oleh
Pengageng Praja Mangkunegaran. Rapat yang dihadiri oleh 9 orang membuat sebuah
kesepakatan dan berhasil mendirikan Perhimpunan Radio Omroep yang diberi
nama Solosche Radio Vereniging (SRV).
Perkembangan SRV dan Pendirian
Cabang-Cabang di Luar Solo
Tiga Program Kerja
Berdiri sejak 1 April 1933, Solosche Radio Vereeniging (SRV)
telah melakukan langkah-langkah strategis pada bidang penyiaran tanah air.
Dalam Wiryawan (2011, h. 95-96), terdapat tiga program kerja yang telah
direalisasikan dan menjadi tonggak-tonggak sejarah penyiaran di
Indonesia. Tiga program kerja tersebut yaitu:
1. Pembentukan
cabang-cabang stasiun di luar Solo.
2. Penyediaan sarana dan
prasarana yaitu gedung studio dan pemancar atau zender.
3. Penataan terhadap
program isi siaran yang mencerminkan budaya Ketimuran.
Siaran SRV Menjangkau Nusantara
Melalui pembenahan baik internal maupun eksternal yang terus-menerus dilakukan
membuat SRV di Pusat di Kota Solo terus berkembang dan semakin kuat. SRV
mengalami perkembangan yang pesat. Dapat dilihat dari jumlah anggota SRV pada
awal berdiri beranggotakan 100 orang, kemudian meningkat menjadi 4000 orang
pada tahun 1940-an. Jumlah tersebut tersebar diseluruh nusantara.
Menyebarnya ‘Virus’ SRV
SRV mengembangkan
sayapnya di berbagai kota di Nusantara dengan cara melakukan perluasan jaringan
melalui pendirian konsul atau cabang. Dijelaskan dalam Wiryawan (2011, h. 101)
konsul adalah kelompok pendengar SRV yang semula berada di luar kota Solo,
kemudian mereka mampu untuk mendirikan stasiun radio secara mandiri.
Perkumpulan radio yang tumbuh di berbagai kota menggambarkan suatu “demam
radio” atau mewabahnya “virus SRV”. Dapat dikatakan virus SRV karena setelah
SRV berdiri di Solo, tumbuh semangat mendirikan perkumpulan radio.
Penyebab adanya “virus
SRV” cepat mewabah dikarenakan oleh beberapa hal (Wiryawan, 2011, h. 101):
1. Siaran SRV dapat
dijangkau di berbagai kota di Indonesia karena kekuatan zender milik SRV cukup
besar hingga mampu menjangkau berbagai kota.
2. SRV menawarkan
alternatif program berisi siaran yang sama sekali baru sehingga sangat
kompetitif dibandingkan dengan siaran Radio Belanda.
3. Secara intensif SRV
membina Radio Ketimuran di beberapa kota disamping memberikan bantuan dalam hal
teknis pengelolaan.
4. SRV memberi tawaran
keterbukaan, akuntabilitas, dan iklim demokratis dalam mengelola lembaga
penyiaran.
5. Sistem organisasi dan
produk (siaran radio) yang ditawarkan SRV amat menarik bagi bangsa Indonesia
yang pada saat itu masih terjajah, sehingga sejumlah daerah mendirikan
perwakilan SRV.
Berikut ini merupakan
beberapa lembaga penyiaran cabang SRV di berbagai kota di Indonesia (Wiryawan,
2011, h. 106-128):
1. VORO Jakarta (Vereeniging
voor Ootersche Radio Oemroepi), berdiri pada April 1934 dipimpin oleh
Gunari Wiryodinoto. VORO tidak pernah kekurangan bahan dalam melakukan
siaran, karena ada banyak artis, pesinden Jawa atau Sunda di Jakarta, dan
kelompok musik dari berbagai suku bangsa.
2. VORL Bandung (Vereeniging
Oostersche Radio Luisteraars), cabang SRV yang berdiri pada 30 April 1934
ini tidak pernah kesulitan dalam pengadaan materi siaran karena Bandung
merupakan pusat kegiatan kesenian Pasundan seperti wayang golek, kecapi,
celempungan dan lain-lain.
3. VORS (Vereeniging
Oostersche Radio Surabaya) dan CIRVO (Chinese Inhemse Radio-Luisteraars
Vereeniging Oost) Surabaya. Setelah beberapa tahun berdiri, VORS
dihapuskan oleh pengurus pusat SRV sejak Oktober 1937 dan diganti dengan
Organisasi Perwakilan SRV yaitu semacam perkumpulan pendengar. Penghapusan itu
dimungkinkan karena VORS membiayai operasional stasiun radio. Setelah redup,
VORS digantikan kemunculan radio ketimuran yaitu CIRVO.
4. Radio Semarang, mulai
mengudara tahun 1936. Cabang SRV ini tidak seberuntung cabang di kota lain
karena kelompok kesenian di kota Semarang relatif terbatas. Sehingga Radio
Semarang harus mendatangkan grup musik atau artis dari luar kota.
5. MAVRO Yogyakarta (Mataramsche
Vereeniging voor Radio Oemroep). MAVRO pertama kali bersiaran pada tanggal
22 Februari 1934 menggunakan pemancar milik van Deutekom dengan gelombag 55,97
kemudian diubah menjadi 153,06.
6. Cabang SRV Bogor,
Purwokerto, dan Madiun. Ketiga kota ini tidak berhasil mendirikan stasiun radio
secara mandiri.
7. Cabang Medan, Sumatera
Utara ini merupakan cabang SRV yang paling akhir berdiri.
8. Siaran Radio Indonesia
(SRI) di Solo. SRI ini merupakan perkumpulan Radio Ketimuran yang berdiri pada
Oktober 1934. SRI dikelola oleh Keraton Kasunanan Surakata, di bawah pimpinan
Pangeran Suryohamijoyo dan Mulyadi Joyomartono, bertempat di Pendapa
Suryohamijayan.
9. Kerjasama Siaran antara
SRV dengan SRI dan Keraton Kasunanan Solo. Sebelum lahir, SRV telah lebih dulu
bekerjasama dengan pihak Keraton Kasunanan. SRV memperoleh persetujuan dari
Raja Kasunanan Surakarta, Susuhan Paku Buwono X, untuk menyiarkan Sekaten.
Hubungan antara SRV dengan Keraton Kasunanan terus terjalin dengan baik.
Sehingga SRV diperbolehkan menyiarkan acara klenengan, tari Bedaya dan Srimpi,
dari dalam keraton.
Bentuk Lembaga Penyiaran
Radio ketimuran yang
dimotori oleh SRV merintis siaran berjaringan yang dilakukan di Solo. Pada saat
itu istilah yang digunakan untuk menyebut lembaga penyiaran milik Bangsa
Indonesia adalah “Perkumpulan Radio Ketimuran”. Kata perkumpulan digunakan
karena para pendengar siaran radio merupakan khalayak tertentu yang memiliki
keanggotaan terdaftar. Mereka berkewajiban untuk membayar iuran kepada pengurus
radio. Jadi para pendengar membentuk perkumpulan. Model interaksi seperti ini
mirip dengan jasa penyiaran berlangganan (pay broadcasting). Penggunaan
kata “Ketimuran” bertujuan untuk menegaskan bahwa orientasi mereka adalah
kepada jati diri sebagai Bangsa Timur bukan Bangsa Barat atau Belanda.
Kemandirian
Kemandirian Bangsa Indonesia terlihat pada
beberapa hal, yaitu:
1. Kemandirian gagasan.
Artinya ide untuk mendirikan stasiun radio bermula dari keprihatinan atas
maraknya budaya asing yang menguasai produksi radio Belanda dan produksi
Piringan Hitam.
2. Kemandirian keuangan.
Arti kemandirian tersebut adalah para pendiri SRV sepakat untuk melakukan iuran secara spontan, mereka juga
meminta bantuan Mangkunegoro VII untuk kekurangan lainnya, dan mencari tambahan
anggota untuk menambah pemasukan iuran anggota.
3. Kemandirian sumber daya
manusia. Para pengurus, teknisi, dan pengelola Radio ketimuran adalah kaum
pribumi tanpa campur tangan asing (Belanda).
Isi Siaran Kesenian
Sebagai Persemaian Nasionalisme dan Kemenangan Perlawanan Budaya Radio
Ketimuran
SRV berorientasi pada
pendengar budaya Ketimuran, sehingga semua kesenian Timur menjadi materi siaran
SRV, dimana para pendengarnya terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang
tinggal di kepulauan Nusantara. Artinya SRV merupakan stasiun radio nasional
baik dalam arti jangkauan siaran secara geografis maupun isi maupun konten
siarannya. Pembentukan cabang-cabang SRV di berbagai kota memperkuat komitmen
SRV untuk mengembangkan isi siarannya berupa kesenian dan budaya Timur. Tidak
hanya itu, SRV juga menyiarkan kesenian Melayu, Sunda, Bali, Ambon, Tionghoa,
Arab, dan sebagainya.
Kebijakan isi siaran dengan segmen Kesenian Timur yang dilakukan SRV menjadi
kebijakan Radio Ketimuran yang lain, yakni siaran radio Ketimuran harus memberi
ruang seluas-luasnya untuk budaya dan seni Timur. Selain bersifat hiburan,
siaran Radio Ketimuran juga berupa siaran pidato (monolog), warta berita, dan
siaran anak-anak. Isi siaran pidato yang dimaksudkan seperti siaran agama,
pendidikan, masalah aktual, kesehatan, olahraga, dan kebudayaan. Agar dapat
melangsungkan siaran pidato, para pengurus harus memperoleh izin dari Biro
Siaran Radio Dinas Pos Telefon dan Telegraf Pemerintah Hindia Belanda. Mereka
harus menyerahkan naskah pidato terlebih dahulu.
SRV dan Radio Ketimuran melakukan
perlawanan budaya dengan cara menyiarkan lagu-lagu dari berbagai daerah di
Nusantara. Hal tersebut merupakan sebuah penolakan atas hegemoni budaya Barat
dan ekspresi tentang identitas budaya orang-orang Timur. Penyiaran kesenian dan
kebudayaan melalui radio memberi makna yang penting bagi Bangsa Indonesia yang
selama itu terjajah. Kesenian daerah yang berkembang di berbagai wilayah
Nusantara melalui siaran radio, memberi semangat dan rasa percaya diri bagi
bangsa ini, bahwa Bangsa Indonesia mempunyai daya sendiri, memiliki identitas
yang berbeda dengan Bangsa Belanda. Siaran kesenian di radio bermakna sebagai
pembangun semangat kebangsaan, sebagai agen perubahan sosial, dan sebagai
simbol identitas bangsa.
Media dan Teknik Baru Propaganda Jepang
I.
Acuan Dasar Kebijakan Propaganda Jepang
1. Sendenbu
Pemerintahan
militer Jepang ini berpikir bahwa orang Indonesia prilaku dan juga cara
berpikirnya harus disamakan dengan prilaku dan juga pemikiran Jepang maka dari
itu pemerintahan Jepang melakukan propaganda. Maka dari itu dibentuklah
Sendenbu atau departemen propaganda oleh badan pemerintahan militer pada bulan
Agustus 1942. Departemen ini bertanggung jawab atas propaganda serta informasi
mengenai pemerintahan sipil. Kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh Sendenbu ini
ditujukan untuk penduduk sipil di Jawa. Dalam departemen ini terdapat tiga
seksi yaitu Seksi Administrasi, Seksi Berita dan Pers, dan Seksi Propaganda.
Selain
itu dibentuk juga organisasi yang bernama Keimin Bunka Shidôsho atau
“Poesat Keboedajaan” pada April 1943. Organisasi ini bertujuan mempromosikan
kesenian tradisional Indonesia, memperkenalkan dan menyebarkan kebudayaan
Jepang, dan mendidik dan melatih seniman Indonesia. Setelah dibentuk organisasi
dan juga biro khusus sendenbu tidak lagi secara langsung
menjalankan kegiatan propaganda. Sendenbu ini akhirnya bertugas untuk menyusun
rancangan dan bahan propaganda setelah itu rencana tersebut dibagikan untuk
dilaksanakan oleh unit-unit dibawahnya.
2. Rancangan propaganda dan media
Setiap
tahunnya anggaran dan juga rancangan mengenai propaganda dibuat oleh Gunseikan. Rancangan
propaganda tersebut lalu dilanjutkan ke organisasi-organisasi yang berada
dibawahnya. Untuk melaksanakan propaganda ini maka dipergunakanlah berbagai
media seperti surat kabar, pamflet, buku, poster, foto, siaran radio, pameran,
pidato, drama, seni pertunjukan tradisional, pertunjukan gambar kertas (kamishibai),
musik, dan film (2015, hal 256). Pada masa Jepang media utama yang digunakan
untuk melakukan propaganda adalah film, seni panggung, kamishibai¸dan
musik. Media ini menjadi media utama karena media ini paling efektif dalam
menyebarkan propaganda pada masyarakat Jawa karena kebanyakan masyarakat ini
tinggal di desa sehingga tidak berpendidikan dan juga buta huruf. Maka dari itu
pemerintah Jepang mengirimkan kelompok-kelompok yang melakukan propaganda
berserta alat pendukungnya ke desa-desa untuk melakukan pertunjukan.
II. Media Propaganda Baru
1.
Film-film yang dipertunjukan di Jawa
Film merupakan salah
satu media utama dalam menyebarkan propaganda. Kebijakan mengenai produksi,
distribusi, dan penyaringan film diambil dari kebijakan Jepang pada masa perang
yang dikembangkan dari tahun1930-an. Pemerintahan Jepang memegang kontrol
sepenuhnya peredaran film. Maka dari itu angkatan darat ke 16 dan juga staf
yang mengurus propaganda menyita seluruh perusahaan film. Pada Oktober 1942
pemerintah Jepang membuat sebuah organisasi yang bertugas untuk menjalankan
kebijakan film. Organisasi ini disebut Jawa Eiga Kôsha (Perusahaan
Film Jawa). Tetapi peraturan tersebut diperbaiki atas dasar Nanpô
Eiga Kôsaku Yôryô atau Kerangka Propaganda Film di Wilayah-Wilayah
Selatan yang dikeluarkan oleh pemerintah Tokyo pada September 1942 (2015, hal
258).
Dalam perubahan peraturan tersebut
ditetapkan bahwa industri perfilman di wilayah Asia Tenggara harus dipercayakan
kepada dua perusahaan yaitu Naichi’ei (Perusahaan Film Jepang)
dan Eihai (Perusahaan Distribusi Film Jepang). Kedua
perusahaan tersebut dibentuk pada awal tahun 1941 dengan tujuan untuk
memproduksi dan memonopoli distribusi film. Dengan adanya dua cabang perusahaan
ini di Jawa maka Jawa Eiga Kôsha dibubarkan.
Pada masa ini peredaran film sangat
dibatasi. Pemerintahan Jepang melarang beredarnya film-film dari negara sekutu.
Film-film yang diputar merupakan film-film yang berasal dari Jepang. Setiap
tahunnya sebanyak 52 film diimpor dari Jepang. Selain itu jepang juga mengimpor
sebanyak 32 film dari Cina, dan 6 film dari negeri sekutu Jepang. Tetapi hal
tersebut diragukan karena film-film yang diputar pada masa pendudukan Jepang
merupakan film-film Jepang yang di impor atau di produksi di Jawa.
Selain itu pemerintahan
Jepang membuat film dokumenter, kebudayaan, dan film berita. Usaha film
dokumenter ini dimulai oleh Jawa Eiga Kôsha pada September
1942. Tetapi pada April 1943 usaha ini dilanjutkan oleh Nichi’ei.
Nichi’ei memproduksi film dokumenter setiap dua minggu sekali.
Sementara untuk film
berita pada mulanya diurus oleh Djawa Eiga Kosha dengan judul “Djawa Bahroe”.
Film berita ini disebarkan hingga nomor delapan pada Maret 1943.
Selanjutnya Nichi’ei membuat film berita baru yang diterbitkan
setiap dua minggu. Film berita tersebut bernama “Berita Film di Djawa/ Djawa
Nyûsu” dan bertahan hingga produksi ke-19. Semenjak awal 1944 film berita ini
berganti nama lagi menjadi Hanpô Hôdô.
2.
Pemutaran film di masyarakat Jawa
Pemutaran
film dan juga distribusi film pada masa pemerintahan Jepang ini diatur
oleh Eihai. Eihai cabang Jakarta ini dibentuk pada
April 1943. Eihai ini bertugas menyeleksi film yang akan diedarkan, menyebarkan
film tersebut ke bioskop, mengelola gedung bioskop yang disita, dan memutar
film di lapangan. Pada April 1943 ada 117 gedung bioskop yang dipergunakan
sebagai gedung bioskop komersil. Walaupun gedung bioskop dikuasai oleh Jepang
tetapi persebaran lokasi gedung bioskop ini tidak merata sehingga propaganda
tidak bisa dilakukan dengan maksimal. Gedung bioskop ini persebarannya sangat
tidak merata karena jumlah gedung bioskop dan penduduk tidak sebanding.Karena
situasi ini maka pemerintah Jepang akhirnya mengatasinya dengan mengadakan
“bioskop keliling”. Upaya ini dimulai pada Agustus 1942. Karena bioskop
keliling ini berhasil maka kantor pusat Eihai meningkatkan
jumlah penyelenggaraan bioskop keliling. Hingga Desember 1943, Jawa Eihai telah
membuat lima pangkalan bioskop keliling dan juga lima belas tim pemutar (2015,
hal 265). Pada saat persebaran film di bioskop keliling tersebut terdapat
sebuah masalah yaitu seberapa banyak masyarakat memahami isi film tersebut.
Maka untuk mengatasi masalah masyarakat yang kurang memahami maka
ditambahkanlah teks terjemahan dalam bahasa Indonesia. Tetapi karena banyak
masyarakat yang buta huruf maka disediakan juga penerjemah yang menjelaskan isi
film tersebut kepada masyarakat.
3.
Media propaganda audiovisual lainnya
Selain menggunakan film, pemerintah Jepang juga menyebarkan propagandanya
dengan media lainnya. Media-media tersebut yaitu:
● Drama
Propaganda Jepang juga dilakukan dengan
menggunakan pertunjukan panggung. Mulanya seni sandiwara ini
dianggap sebagai seni murah berbeda dengan puisi dan juga novel. Untuk menaikan
standar tersebut maka Sendenbu mendirikan sekolah drama
(Sekolah Tonil) di Jakarta dan berusaha mendidik penulis naskah, aktor, dan
staf lainnya.
Dengan berkembangnya seni panggung ini
maka muncul kelompok-kelompok teater baru yang disuruh pemerintah menampilkan
drama baru. Karena teater ini berkembang maka dibentuklah Jawa Engeki
Kyôkai atau “Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa”
(POSD). Pada bulan April 1943 dibentuk Keimin Bunka Shidôsho atau
“Poesat Keboedajaan”. Keimin Bunka Shidôsho ini bertugas untuk
menentukan jenis cerita apa yang harus ditampilkan.
● Wayang
Selain seni teater modren, seni
tradisional juga dipergunakan pemerintah Jepang sebagai alat propaganda. Salah
satu seni tradisional yang dipergunakan sebagai alat propaganda adalah wayang.
Pertunjukan wayang ini berbeda dari biasanya karena durasinya hanya tiga jam
saja. Pertunjukan wayang ini bertujuan untuk meningkatkan semangat perang pada
kalangan rakyat. Pemerintahan Jepang juga memperkenalkan “wayang sandiwara”.
Wayang sandiwara ini mirip dengan wayang kulit tetapi yang membedakan adalah
dalam wayang sandiwara adalah wajah dari wayangnya sama seperti manusia
biasa.
● Tarian
Tarian juga dipergunakan Jepang sebagai
alat propaganda. Menurut Djawa Baroe terbitan 1 Desember 1943
halaman 31, terdapat sebuah tarian yang berjudul “Tari Meroentoehkan Amerika/
Inggeris”. Tarian ini mengisahkan mengenai seorang putri matahari (Jepang)
melawan putri dari negri jahat (Amerika/Inggris) (2015, hlm. 272).
● Teater Kertas (Kamishibai)
Kamishibai ini merupakan sebuah kesenian dikalangan anak-anak Jepang. Selain itu
kesenian ini juga sering dipergunakan sebagai hiburan atau alat mencari uang.
Kesenian ini mirip dengan wayang. Pemerintah Jepang menggunakan pertunjukan ini
untuk menyebarkan propaganda di kalangan anak-anak dan dewasa. Selain itu cara
ini juga dianggap sebagai cara yang murah dan juga mudah untuk menyampaikan
pesan pemerintah. Menurut laporan bulanan Sendenbu, kamishibai dipergunakan
untuk menyampaikan propaganda di beberapa tempat seperti sekolah, unit kerja
dan desa-desa. Menurut Besut Hadiwardoyo yang merupakan bekas dalang Kamishibai tema-tema
yang sering diangkat adalah tema kemiliteran dan juga peningatan moral.
● Nyanyian
Pada pemerintahan Jepang, lagu juga
digunakan sebagai salah satu media dalam melakukan propaganda. Lagu ini
dipergunakan untuk menyebarkan gagasan Jepang serta untuk meningkatkan moral.
Terdapat dua jenis lagu yang dipromosikan. Lagu yang pertama adalah lagu Jepang
yang diimpor ke Jawa dan lagu propaganda yang diciptakan di Indonesia. Pada
awal November 1942 koran harian Sinar Matahari di Yogyakarta
menerbitkan sebuah buklet berjudul Njanjian Nippon boeat oemoem. Dalam
buku ini diperkenalkan tiga puluh empat lagu Jepang lengkap dengan nada musik
Jawa. Setelah itu muncul lagi sebuah buku yang ditujukan untuk anak-anak yang
berjudul Aneka Warna Njanjian Kemakmoeran Bersama Asia Timoer Raja. Pada
Desember juga diterbitkan lagi buku yang berisikan kumpulan lagu Jepang uang
berjudul Seinen no Uta (Lagu-lagu Pemuda). Didalam buku
tersebut terdapat lagu-lagu berbahasa Indonesia dan juga dilengkapi dengan
notnya. Lagu tersebut berisi pesan untuk meningkatkan moral dan semangat orang
Asia Tenggara.
Karena lagu ini merupakan salah satu media
yang disukai masyarakat maka dibentuklah sebuah organisasi yang menaungi
komposisi di Indonesia.Organisasi tersebut dibentuk pada April 1943 dengan
nama Keimin Bunka Shidôsho.
● Radio
Pada saat pendudukan Jepang, pemerintah
melakukan kontrol ketat terhadap siaran radio. Siaran yang boleh beroptasi
hanyalah NHK (Siaran Radio Jepang) sementara siaran yang dilakukan oleh radio
swasta tidak boleh dilakukan. Untuk mengawasi penyiaran ini maka dibentuklah
sebuah stasiun pemancar yang dikontrol oleh Sendenbu hingga Jawa Hôso
Karikyoku (Biro Pengawas Siaran di Jawa). Penyiaran ini dilakukan
setiap hari dengan dua kali jeda. Siaran berita yang disiarkan di radio ini
lamanya sekitar 3,5 Jam. Efek dari penggunaan radio ini sangat luas
dibandingkan dengan film dan seni panggungnya. Penggunaan radio ini juga
merupakan sebuah media propaganda yang efektif karena biaya produksinya murah
tetapi efeknya lumayan. Tetapi karena persebaran radio kurang maka pemerintah
membangun pengeras suara yang disebut “radio tô” atau menara radio di
tempat umum.
Daftar Pustaka
Darmanto dan Istiyono, (2013). RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi
Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.
Kurusawa, A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Suryomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.
Wiryawan, H. (2011). Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia.
Solo: LPPS.
Kurusawa, A.
(2015). Kuasa Jepang di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Author :
Nada Nusa Parenta
Gabriela Arnetta Ng
Albertus Agung Fandy Salama
Daftar Pustaka
Darmanto dan Istiyono, (2013). RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi
Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.
Kurusawa, A. 2015. Kuasa Jepang di Jawa. Depok: Komunitas Bambu.
Suryomihardjo, A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di
Indonesia. Jakarta: Penerbit Kompas.
Wiryawan, H. (2011). Mangkunegara VII dan Awal Penyiaran Indonesia.
Solo: LPPS.
Kurusawa, A.
(2015). Kuasa Jepang di Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu.
Author :
Nada Nusa Parenta
Gabriela Arnetta Ng
Albertus Agung Fandy Salama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar