Mochtar
Lubis dan Rosihan Anwar tentang Peraturan Peperti
Peraturan
Peperti nomor 10 tanggal 12 Oktober 1960 yang dikelurakan oleh Djuanda ditentang
oleh Mochtar Lubis. Sikap menentang itu ditunjukkan oleh usulan yang diberikan
kepada IPI, supaya Rosihan Anwar, yaitu pemimpin redaksi Pedoman diberhentikan dari keanggotaan organisasi karena pernyataan
yang ditandatanganinya mengenai “19 persyaratan” Peraturan Peperti. Pada 1
November 1960
Peraturan Peperti mulai berlaku dengan aturan yang mengharuskan media pers menjadi pedoman, pembela, serta alat untuk menyebarkan politik praktis. Dalam (Anonim, 2002:261), dikatakan bahwa penerbit yang melanggar ketentuan tersebut maka izinnya akan dicabut, dan tidak diperbolehkan menggunakan kertas yang disubsidi pemerintah. Meskipun Rosihan Anwar telah menandatangani “19 persyaratan”, izin terbit redaksi Pedoman tetap diberedel. Hal itu disebabkan karena surat kabar tersebut sering memuat tulisan-tulisan yang bertentangan atau melemahkan kepercayaan rakyat pada landasan, tujuan, dan program kepemimpinan revolusi Indonesia.
Peraturan Peperti mulai berlaku dengan aturan yang mengharuskan media pers menjadi pedoman, pembela, serta alat untuk menyebarkan politik praktis. Dalam (Anonim, 2002:261), dikatakan bahwa penerbit yang melanggar ketentuan tersebut maka izinnya akan dicabut, dan tidak diperbolehkan menggunakan kertas yang disubsidi pemerintah. Meskipun Rosihan Anwar telah menandatangani “19 persyaratan”, izin terbit redaksi Pedoman tetap diberedel. Hal itu disebabkan karena surat kabar tersebut sering memuat tulisan-tulisan yang bertentangan atau melemahkan kepercayaan rakyat pada landasan, tujuan, dan program kepemimpinan revolusi Indonesia.
Satu
minggu setelah izin penerbitan Pedoman dicabut, Rosihan Anwar diberhentikan
menjadi anggota organisasi untuk sementara. Rosihan Anwar tidak terima, dan
melayangkan surat pembelaan. Menurutnya surat kabar perlu mempertahankan
hidupnya dalam menghadapi segala tekanan, agar hubungannya dengan masyarakat
tetap terjaga, dan wartawan tidak mengucilkan diri. Dengan demikian, surat
kabar tersebut dapat meningkatkan kesadaran, memelihara, dan memperjuangkan hak-hak
manusia dan rakyat, namun, di sisi lain Mochtar Lubis menganggap tindakan
Rosihan Anwar dalam menandatangani “19 persyaratan” justru melenyapkan
kebebasannya sendiri.
Indonesia
Raya, 1968-1974
Sebelumnya
surat kabar Indonesia Raya ditutup
karena adanya perpecahan fatal di dalam manajemennya, namun kemudian dapat beroprasi
kembali pada 30 Oktober 1968 berkat rujuknya Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan.
Perdamaian itu kemudian diperkuat dengan surat perjanjian damai pada 15 Oktober
1970 (Anonim, 2002: 267). Setelah beroprasi kembali, Indonesia Raya menjadi
pelopor dalam cara pemilihan kolektif dan kooperatif bisnis pers di Indonesia.
Pada
mulanya surat kabar Indonesia Raya dicetak
di perusahaan Sastra Kenjtna, berlokasi di Medan Merdeka Utara 11. Namun,
setelah ada masa “demam cetak offset”
yaitu sebuah penemuan mutakhir dalam grafika pers mulai melanda persuratkabaran
di Indonesia, sekitar awal Agustus 1973 percetakan Indonesia Raya berpindah ke Surya Prabha yang memiliki peralatan
baru.
Dalam sejarah penerbitannya, Indonesia Raya mengalami kenaikan
tertinggi hingga dapat mencetak 31.000 hingga 43.000 eksemplar. Hal itu
disebabkan karena surat kabar ini melancarkan kritikan tajam selama
berbulan-bulan, terhadap kebocoran keuangan di perusahaan minyak Pertamina.
Sempat mengalami penurunan drastis, pada tahun 1974, Indonesia Raya mengalami peningkatan yang tetap mencapai 41.000
eksemplar. Kenaikan itu terkait dengan perhatian terhadap kritik-kritik
mengenai masalah sosial dan ekonomi seperti yang dilontarkan dalam berbagai
demonstrasi mahasiswa di beberapa kota.
Demonstrasi mahasiswa berakhir
dengan malapetaka pada 15 Januari 1974 atau “Malari” di Jakarta, hingga
menyebabkan penangkapan sejumlah mahasiswa, cendekiawan, politisi, serta
pembredelan Indonesia Raya bersama
dengan sepuluh suarat kabar lainnya Indonesia
Raya dianggap sebagai “ekor” dari
perseteruan antara asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo dan panglima
Kopkamtib Soemitro. Pada zaman itu, pembredelan dilakukan pemerintah untuk
mencabut mencabut SIC (Surat Izin Cetak) oleh Kopkamtib dan SIT (Surat Izin
Terbit) oleh kementrian penerangan. Alasan adanya pembredelan adalah karena
surat kabar memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan nasional dan
kepercayaan kepemimpinan nasional, menghasut rakyat, serta mengadu domba para
pemimpin.
Mengamati Orde Baru
Hill (2011:36), menjelaskan bahwa kenyataan kondisi pers pada orde
baru bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar Pers yang tercantum dalam UU
No.11 tahun 1966 yaitu pada Bab 2 Pasal 4, dikatakan bahwa “Pers nasional tidak
dapat disensor atau dikendalikan” dan Pasal 5 Ayat 1 “Kebebasan pers dijamin
sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” serta Bab 4 Pasal 8 Ayat 2 “Penerbitan
tidak memerlukan surat izin apa pun”. Realita tidak sesuai dengan Undang-Undang
tersebut, para pernerbit surat kabar justru harus memiliki Surat Izin Terbit
dan Surat Izin Cetak. Tanpa kedua syarat tersebut, pemberitaan yang melanggar
akan diberedel.
Tahun
1970-an, pers banyak mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, tetapi
pemerintah menanggapinya dengan tangan besi. Sehingga hubungan antara
pemerintah dengan pers pada 1974 diwarnai dengan ketegangan. Industri pers di
Indonesia dianggap sebagai pekerjaan tidak menjanjikan (Hill,
2011:40). Pada saat itu
hanya pers moderat yang dapat terbit. Tahun 1980-an secara bertahap pemerintah
mematikan sejumlah publikasi, seperti Jurnal
Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri), Expo, majalah Fokus, Sinar Harapan,
Prioritas, dan surat kabar Monitor.
Pada
awal periode 1990-an merupakan puncak dari kebebasan politik. Pers tidak lagi
enggan untuk memberitakan topik yang dulu oleh masyarakat dianggap tabu. Namun,
konflik pemerintah dengan pers terulang kembali. Menteri Penerangan mencabut
izin terbit mingguan Tempo, tabloid
politik DeTIK, dan majalah mingguan Editor pada 21 Juni 1994, karena mereka
menulis berita tentang pelanggaran HAM, bisnis keluarga presiden,
penyalahgunaan kekuasaan, hingga cacat administrasi pada pemerintahaan dan
tentara.
Hill
(2011:48) mengatakan bahwa pemerintah memberikan peringatan kepada sejumlah
surat kabar karena mereka mengkritisi kebijakan pemerintah. Beberapa topik yang
tidak boleh diberitakan yaitu bersifat menghasut, sensasi spekulasi, insinuasi,
dan suku, agama, ras, dan aliran (MISS SARA), berita tentang pejabat
pemerintahan, pertikaian antarfraksi militer, pertentangan dalam negoisasi
tingkat tinggi, serta kematian para perwira. Kemudian, pada September 1982,
pemerintah mencapuri pers lebih dalam. Persyaratan Surat Izin Terbit dan Surat
Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) diganti oleh Departemen Penerangan
‘transisi’. Peraturan baru membuat (SIUPP) lebih sulit, diperlukan
berlembar-lembar bukti dukungan dari seluruh organisasi profesi, militer,
kalangan sipil, surat keterangan pendukung dari pemodal, hingga perusahaan
percetakan.
Pemerintah
membuat peraturan utama terbaru mengenai pers Indonesia yaitu adalah
“Undang-undang no. 21 tentang perubahan Undang-undang no. 11 tahun 1966”.
Undang-undang ini berisi tentang hak dan kewajiban pers pada pra dan pasca
tahun 1966. Pemegang otoritas dalam urusan pers di Indonesia adalah Menteri
Penerangan dan Direktorat Jendral Pembinaan Pers dan Grafika. Selain itu ada
Dewan Pers yang mengawasi kegiatan pers. Dewan Pers ada, bertujuan menjadi
titik temu pemerintah dengan organisasi yang mewakili kepentingan pers, seperti
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Grafika Pers (SGP), Serikat
Penerbit Suratkabar (SPS), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI),
dan segelintir wakil masyarakat (Hill 2011: 75). PWI merupakan organisasi
wartawan yang sah di mata pemerintah. PWI memiliki kuasa untuk menentukan siapa
yang boleh masuk dalam industry pers, sehingga bagi para jurnalis, PWI sangat
penting sebagai penjaga pintu gerbang pemerintah.
Bangkitnya
Imperium-imperium Pers
Empat
konglomerat pers pada masa Orde Baru menggambarkan kekuasaan-kekuatan politik keluar
dari campur tangan pers di Indonesia. Perusahaan pers secara mandiri dan
waspada terhadap pemerintah jika sewaktu-waktu mereka akan diberedel. Empat
perusahaan pers itu diantaranya (Hill, 2011: 97-111):
1.
Kelompok
Kompas Gramedia
Didirikan tahun
1965 oleh Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong. Kompas Gramedia berupaya menyuarakan suara Katolik
di tengah situasi politik Indonesia pada periode 1960-an. Kompas memiliki
strategi diversifikasi bisnis serta penanaman modal secara besar-besaran.
2.
Kelompok
Sinar Kasih
Didirikan pada
tahun 1961 oleh kelompok Kristen Protestan. Sinar Harapan memiliki strategi
bisnis dengan mengendalikan redaksi dan menejemen surat kabar daerah tanpa
perlu menjadi pemegang saham mayoritas, namun gagal. September 1986, Sinar
Harapan diberedel oleh pemerintah di bawah peraturan SIUPP. Empat bulan
setelahnya, kedudukan Sinar Harapan diganti oleh Suara Pembaruan.
3.
Kelompok
Tempo-Grafiti/Jawa Pos
Didirikan tahun
1971 oleh Goenawan Mohamad. Pada tahun 1982 Tempo diberedel karena dianggap terlalu
tajam dalam mengkritik rezim Orde Baru dan pemberitaan tentang kampanye pemilu.
Setelah menandatangani “janji” di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Tempo
akhirnya diperbolehkan terbit kembali. Setelah itu, mekanismw internal
keredaksian Tempo semakin sempurna dan semnagat jurnalisme investigasinya
semakin mengental. Namun Tempo kembali diberedel pada 21 Juni 1994, karena
Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian
kapal kapal bekas dari Jerman Timur.
4.
Kelompok
Media Indonesia/Surya Persindo
Kelompok ini
didirikan tahun 1980-an oleh Surya Paloh. Diversifikasi bisnis yang dilakukan
Surya Paloh yaitu (1) bekerja sama dan menyuntikkan dana besar pada majalah
hiburan Vista pada Januari 1988, (2) menanamkan modal berbentuk asistensi
redaksional dan manajemen kepada 10 penerbit daerah pada tahun 1989-1990, (3)
membangkitkan kembali De-TIK mingguan, serta (4) pada Oktober 1994 mengambil
alih nama dan izin terbit mingguan Simponi.
Ada beberapa jenis pers di Indonesia, yaitu:
1)
Pers
Pinggiran
Merupakan
pers yang kontennya terpinggirkan karena tidak dapat menghasilkan banyak uang.
Pers ini banyak menampilkan topic tentang agama (Hill, 2011:135).
2)
Pers
Mahasiswa
Pers ini
mulai muncul pada tahun 1955 dimana terdapat 35 penerbitan yang dikelola
mahasiswa dari berbagai universitas. Topik yang disajikan mengkritisi apa yang
mereka anggap sebagai pengkhianatan.
3)
Pers
Daerah Berbahasa Indonesia
Indonesia
memiliki surat kabar daerah berbahasa nasional yang independen seperti Waspada
dan Mimbar Umum (Medan), Haluan (Padang), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Suara
Merdeka (Semarang), Surabaya Post, Pedoman
Rakyat (Ujungpandang), dan Jakarta Post. Namun mereka sulit untuk sukses
karena berhadapan dengan lembaga pers asal Jakarta.
4)
Pers
Berbahasa Daerah
Terdapat
sedikit surat kabar di Indonesia, ada yang berbahasa Jawa seperti Penyebar
Semangat, Jaya Baya, Kandha Rahardja dan Mekar Sari. Kemudian, ada yang
berbahasa Sunda seperti Galura dan Mangle. Surat kabar ini berusaha bertahan di
kancah sastra daerah dengan dukungan pendiri yang sudah berusia senja.
5)
Media
Islami
Media
berbasis Islami menemui jalan buntu sejak pembredelan surat kabar Abadi pada
tahun 19741. Mereka terpinggirkan oleh media profesional lain.
6)
Bahasa
Inggris
Java Government Gazzette merupakan koran pertama yang terbit dalam Bahasa
Inggris. Koran ini muncul pada tahun 1812-1814 pada masa kolonial Inggris.
Kemudian koran Bahasa Inggris yang terbit kembali pada tahun 1952 yaitu The Times of Indonesia. Setelah itu, The Times menurunkan koran Bahasa Inggris
lainnya seperti Jakarta Post, Indonesia Times, dan Indonesian Observer. Meski memiliki
sirkulasi kecil, surat kabar ini diterima oleh komunitas bisnis dan diplomatic.
7)
Bahasa
Cina
Surat kabar Cina pertama di Indonesia yaitu Sin Po. Pada 1949, ada 17 harian
berbahasa Cina. Namun mereka diberedel karena dianggap sebagai pro komunis.
Pembredelan itu mengacu pada Keputusan Parlemen tahun 1966 untuk menghapuskan
penerbitan asing yang tidak menggunakan aksara Romawi.
Daftar
Pustaka
Anonim.
(2002). Beberapa Segi Perkembangan
Sejarah Pers di Indonesia. Kompas.
Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar