Discuss Communication Studies In A Brief, Accurate And In-Depth From Reliable Source

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Jumat, 29 Maret 2019

KEBIJAKAN KOMUNIKASI DI ERA ORDE BARU

Mochtar Lubis dan Rosihan Anwar tentang Peraturan Peperti

            Peraturan Peperti nomor 10 tanggal 12 Oktober 1960 yang dikelurakan oleh Djuanda ditentang oleh Mochtar Lubis. Sikap menentang itu ditunjukkan oleh usulan yang diberikan kepada IPI, supaya Rosihan Anwar, yaitu pemimpin redaksi Pedoman diberhentikan dari keanggotaan organisasi karena pernyataan yang ditandatanganinya mengenai “19 persyaratan” Peraturan Peperti. Pada 1 November 1960
Peraturan Peperti mulai berlaku dengan aturan yang mengharuskan media pers menjadi pedoman, pembela, serta alat untuk menyebarkan politik praktis. Dalam (Anonim, 2002:261), dikatakan bahwa penerbit yang melanggar ketentuan tersebut maka izinnya akan dicabut, dan tidak diperbolehkan menggunakan kertas yang disubsidi pemerintah. Meskipun Rosihan Anwar telah menandatangani “19 persyaratan”, izin terbit redaksi Pedoman tetap diberedel. Hal itu disebabkan karena surat kabar tersebut sering memuat tulisan-tulisan yang bertentangan atau melemahkan kepercayaan rakyat pada landasan, tujuan, dan program kepemimpinan revolusi Indonesia.
            Satu minggu setelah izin penerbitan Pedoman dicabut, Rosihan Anwar diberhentikan menjadi anggota organisasi untuk sementara. Rosihan Anwar tidak terima, dan melayangkan surat pembelaan. Menurutnya surat kabar perlu mempertahankan hidupnya dalam menghadapi segala tekanan, agar hubungannya dengan masyarakat tetap terjaga, dan wartawan tidak mengucilkan diri. Dengan demikian, surat kabar tersebut dapat meningkatkan kesadaran, memelihara, dan memperjuangkan hak-hak manusia dan rakyat, namun, di sisi lain Mochtar Lubis menganggap tindakan Rosihan Anwar dalam menandatangani “19 persyaratan” justru melenyapkan kebebasannya sendiri.


Indonesia Raya, 1968-1974
            Sebelumnya surat kabar Indonesia Raya ditutup karena adanya perpecahan fatal di dalam manajemennya, namun kemudian dapat beroprasi kembali pada 30 Oktober 1968 berkat rujuknya Mochtar Lubis dan Hasjim Mahdan. Perdamaian itu kemudian diperkuat dengan surat perjanjian damai pada 15 Oktober 1970 (Anonim, 2002: 267). Setelah beroprasi kembali, Indonesia Raya menjadi pelopor dalam cara pemilihan kolektif dan kooperatif bisnis pers di Indonesia.
            Pada mulanya surat kabar Indonesia Raya dicetak di perusahaan Sastra Kenjtna, berlokasi di Medan Merdeka Utara 11. Namun, setelah ada masa “demam cetak offset” yaitu sebuah penemuan mutakhir dalam grafika pers mulai melanda persuratkabaran di Indonesia, sekitar awal Agustus 1973 percetakan Indonesia Raya berpindah ke Surya Prabha yang memiliki peralatan baru.
Dalam sejarah penerbitannya, Indonesia Raya mengalami kenaikan tertinggi hingga dapat mencetak 31.000 hingga 43.000 eksemplar. Hal itu disebabkan karena surat kabar ini melancarkan kritikan tajam selama berbulan-bulan, terhadap kebocoran keuangan di perusahaan minyak Pertamina. Sempat mengalami penurunan drastis, pada tahun 1974, Indonesia Raya mengalami peningkatan yang tetap mencapai 41.000 eksemplar. Kenaikan itu terkait dengan perhatian terhadap kritik-kritik mengenai masalah sosial dan ekonomi seperti yang dilontarkan dalam berbagai demonstrasi mahasiswa di beberapa kota.
Demonstrasi mahasiswa berakhir dengan malapetaka pada 15 Januari 1974 atau “Malari” di Jakarta, hingga menyebabkan penangkapan sejumlah mahasiswa, cendekiawan, politisi, serta pembredelan Indonesia Raya bersama dengan sepuluh suarat kabar lainnya Indonesia Raya  dianggap sebagai “ekor” dari perseteruan antara asisten pribadi Soeharto, Ali Moertopo dan panglima Kopkamtib Soemitro. Pada zaman itu, pembredelan dilakukan pemerintah untuk mencabut mencabut SIC (Surat Izin Cetak) oleh Kopkamtib dan SIT (Surat Izin Terbit) oleh kementrian penerangan. Alasan adanya pembredelan adalah karena surat kabar memuat tulisan yang dapat merusak kewibawaan nasional dan kepercayaan kepemimpinan nasional, menghasut rakyat, serta mengadu domba para pemimpin.

Mengamati Orde Baru
            Hill (2011:36), menjelaskan bahwa kenyataan kondisi pers pada orde baru bertentangan dengan Prinsip-Prinsip Dasar Pers yang tercantum dalam UU No.11 tahun 1966 yaitu pada Bab 2 Pasal 4, dikatakan bahwa “Pers nasional tidak dapat disensor atau dikendalikan” dan Pasal 5 Ayat 1 “Kebebasan pers dijamin sebagai bagian dari hak-hak dasar warga negara” serta Bab 4 Pasal 8 Ayat 2 “Penerbitan tidak memerlukan surat izin apa pun”. Realita tidak sesuai dengan Undang-Undang tersebut, para pernerbit surat kabar justru harus memiliki Surat Izin Terbit dan Surat Izin Cetak. Tanpa kedua syarat tersebut, pemberitaan yang melanggar akan diberedel.
            Tahun 1970-an, pers banyak mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, tetapi pemerintah menanggapinya dengan tangan besi. Sehingga hubungan antara pemerintah dengan pers pada 1974 diwarnai dengan ketegangan. Industri pers di Indonesia dianggap sebagai pekerjaan tidak menjanjikan (Hill, 2011:40). Pada saat itu hanya pers moderat yang dapat terbit. Tahun 1980-an secara bertahap pemerintah mematikan sejumlah publikasi, seperti Jurnal Ekuin (Ekonomi, Keuangan, dan Industri), Expo, majalah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas, dan surat kabar Monitor.
            Pada awal periode 1990-an merupakan puncak dari kebebasan politik. Pers tidak lagi enggan untuk memberitakan topik yang dulu oleh masyarakat dianggap tabu. Namun, konflik pemerintah dengan pers terulang kembali. Menteri Penerangan mencabut izin terbit mingguan Tempo, tabloid politik DeTIK, dan majalah mingguan Editor pada 21 Juni 1994, karena mereka menulis berita tentang pelanggaran HAM, bisnis keluarga presiden, penyalahgunaan kekuasaan, hingga cacat administrasi pada pemerintahaan dan tentara.
            Hill (2011:48) mengatakan bahwa pemerintah memberikan peringatan kepada sejumlah surat kabar karena mereka mengkritisi kebijakan pemerintah. Beberapa topik yang tidak boleh diberitakan yaitu bersifat menghasut, sensasi spekulasi, insinuasi, dan suku, agama, ras, dan aliran (MISS SARA), berita tentang pejabat pemerintahan, pertikaian antarfraksi militer, pertentangan dalam negoisasi tingkat tinggi, serta kematian para perwira. Kemudian, pada September 1982, pemerintah mencapuri pers lebih dalam. Persyaratan Surat Izin Terbit dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) diganti oleh Departemen Penerangan ‘transisi’. Peraturan baru membuat (SIUPP) lebih sulit, diperlukan berlembar-lembar bukti dukungan dari seluruh organisasi profesi, militer, kalangan sipil, surat keterangan pendukung dari pemodal, hingga perusahaan percetakan.
            Pemerintah membuat peraturan utama terbaru mengenai pers Indonesia yaitu adalah “Undang-undang no. 21 tentang perubahan Undang-undang no. 11 tahun 1966”. Undang-undang ini berisi tentang hak dan kewajiban pers pada pra dan pasca tahun 1966. Pemegang otoritas dalam urusan pers di Indonesia adalah Menteri Penerangan dan Direktorat Jendral Pembinaan Pers dan Grafika. Selain itu ada Dewan Pers yang mengawasi kegiatan pers. Dewan Pers ada, bertujuan menjadi titik temu pemerintah dengan organisasi yang mewakili kepentingan pers, seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Grafika Pers (SGP), Serikat Penerbit Suratkabar (SPS), Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI), dan segelintir wakil masyarakat (Hill 2011: 75). PWI merupakan organisasi wartawan yang sah di mata pemerintah. PWI memiliki kuasa untuk menentukan siapa yang boleh masuk dalam industry pers, sehingga bagi para jurnalis, PWI sangat penting sebagai penjaga pintu gerbang pemerintah.

Bangkitnya Imperium-imperium Pers
            Empat konglomerat pers pada masa Orde Baru menggambarkan kekuasaan-kekuatan politik keluar dari campur tangan pers di Indonesia. Perusahaan pers secara mandiri dan waspada terhadap pemerintah jika sewaktu-waktu mereka akan diberedel. Empat perusahaan pers itu diantaranya (Hill, 2011: 97-111):
1.      Kelompok Kompas Gramedia
Didirikan tahun 1965 oleh Jakob Oetama dan Petrus Kanisius (PK) Ojong. Kompas Gramedia berupaya menyuarakan suara Katolik di tengah situasi politik Indonesia pada periode 1960-an. Kompas memiliki strategi diversifikasi bisnis serta penanaman modal secara besar-besaran.
2.      Kelompok Sinar Kasih
Didirikan pada tahun 1961 oleh kelompok Kristen Protestan. Sinar Harapan memiliki strategi bisnis dengan mengendalikan redaksi dan menejemen surat kabar daerah tanpa perlu menjadi pemegang saham mayoritas, namun gagal. September 1986, Sinar Harapan diberedel oleh pemerintah di bawah peraturan SIUPP. Empat bulan setelahnya, kedudukan Sinar Harapan diganti oleh Suara Pembaruan.
3.      Kelompok Tempo-Grafiti/Jawa Pos
Didirikan tahun 1971 oleh Goenawan Mohamad. Pada tahun 1982 Tempo diberedel karena dianggap terlalu tajam dalam mengkritik rezim Orde Baru dan pemberitaan tentang kampanye pemilu. Setelah menandatangani “janji” di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Tempo akhirnya diperbolehkan terbit kembali. Setelah itu, mekanismw internal keredaksian Tempo semakin sempurna dan semnagat jurnalisme investigasinya semakin mengental. Namun Tempo kembali diberedel pada 21 Juni 1994, karena Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur.
4.      Kelompok Media Indonesia/Surya Persindo
Kelompok ini didirikan tahun 1980-an oleh Surya Paloh. Diversifikasi bisnis yang dilakukan Surya Paloh yaitu (1) bekerja sama dan menyuntikkan dana besar pada majalah hiburan Vista pada Januari 1988, (2) menanamkan modal berbentuk asistensi redaksional dan manajemen kepada 10 penerbit daerah pada tahun 1989-1990, (3) membangkitkan kembali De-TIK mingguan, serta (4) pada Oktober 1994 mengambil alih nama dan izin terbit mingguan Simponi.

Ada beberapa jenis pers di Indonesia, yaitu:
1)      Pers Pinggiran
Merupakan pers yang kontennya terpinggirkan karena tidak dapat menghasilkan banyak uang. Pers ini banyak menampilkan topic tentang agama (Hill, 2011:135).
2)      Pers Mahasiswa
Pers ini mulai muncul pada tahun 1955 dimana terdapat 35 penerbitan yang dikelola mahasiswa dari berbagai universitas. Topik yang disajikan mengkritisi apa yang mereka anggap sebagai pengkhianatan.
3)      Pers Daerah Berbahasa Indonesia
Indonesia memiliki surat kabar daerah berbahasa nasional yang independen seperti Waspada dan Mimbar Umum (Medan), Haluan (Padang), Kedaulatan Rakyat (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang),  Surabaya Post, Pedoman Rakyat (Ujungpandang), dan Jakarta Post. Namun mereka sulit untuk sukses karena berhadapan dengan lembaga pers asal Jakarta.
4)      Pers Berbahasa Daerah
Terdapat sedikit surat kabar di Indonesia, ada yang berbahasa Jawa seperti Penyebar Semangat, Jaya Baya, Kandha Rahardja dan Mekar Sari. Kemudian, ada yang berbahasa Sunda seperti Galura dan Mangle. Surat kabar ini berusaha bertahan di kancah sastra daerah dengan dukungan pendiri yang sudah berusia senja.


5)      Media Islami
Media berbasis Islami menemui jalan buntu sejak pembredelan surat kabar Abadi pada tahun 19741. Mereka terpinggirkan oleh media profesional lain.
6)      Bahasa Inggris
Java Government Gazzette merupakan koran pertama yang terbit dalam Bahasa Inggris. Koran ini muncul pada tahun 1812-1814 pada masa kolonial Inggris. Kemudian koran Bahasa Inggris yang terbit kembali pada tahun 1952 yaitu The Times of Indonesia. Setelah itu, The Times menurunkan koran Bahasa Inggris lainnya seperti Jakarta Post, Indonesia Times, dan Indonesian Observer. Meski memiliki sirkulasi kecil, surat kabar ini diterima oleh komunitas bisnis dan diplomatic.
7)      Bahasa Cina
Surat kabar Cina pertama di Indonesia yaitu Sin Po. Pada 1949, ada 17 harian berbahasa Cina. Namun mereka diberedel karena dianggap sebagai pro komunis. Pembredelan itu mengacu pada Keputusan Parlemen tahun 1966 untuk menghapuskan penerbitan asing yang tidak menggunakan aksara Romawi.




Daftar Pustaka
Anonim. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia. Kompas.
Hill, David T. (2011). Pers di Masa Orde Baru. Jakarta: Yayasan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your Ad Spot

Halaman