KEBIJAKAN KOMUNIKASI PASCA PROKLAMASI
Sejarah
Radio Republik Indonesia
Semenjak radio Jepang yang bernama Hoso Kyoku telah
ditutup, dunia penyiaran dan komunikasi massa mulai vakum. Padahal Indonesia
sebagai negara yang telah merdeka sangat membutuhkan media komunikasi massa yang
efektif untuk kepentingan hubungan antara pemimpin pemerintahan dengan
masyarakat. Oleh karena itu, Maladi selaku mantan penyiar Hoso Kyoku mengajak
teman-temannya untuk berunding guna membahas tindak lanjut media penyiaran dan
penutupan siaran Hoso Kyoku. Dalam pertemuan tersebut, telah terbentuk beberapa
poin yang disampaikan, antara lain :
1. Mereka akan membentuk Persatuan Republik Radio
Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 studio di Jawa.
2. RRI yang mereka bentuk akan dipersembahkan kepada
Presiden dan pemerintah guna kepentingan komunikasi dengan masyarakat.
3. Pada saatnya mereka nanti akan menjadi pegawai
Republik Indonesia.
4. Mereka akan bekerja sebagai organisasi sendiri
karena mengingat penyiaran radio dalam pemerintahan belum di tetapkan.
5. Segala pekerjaan mereka akan diatur dengan faktor
pertempuran antara Indonesia melawan Inggris dan Belanda.
6. Penyerahan peralatan siaran dari Jepang akan mereka
tangani sendiri namun mereka tetap meminta bantuan Pemerintah.
7. Untuk keperluan komunikasi antara pemerintah dengan
orang radio, hendaknya melalui satu orang yaitu Dr. Abdulrachman Saleh yang mewakili
orang radio dan pihak Pemerintah pun hendaknya menunjuk salah seorang wakil.
Setelah melakukan pertemuan tersebut, mereka melakukan
negosiasi terhadap Okonogi yaitu Kepala Bagian Hoso Kyoku karena peralatan penyiaran
dari pemerintah Jepang tidak dapat diserahkan karena peralatan tersebut sudah
diserahkan kepada SEAC di Singapore. Maka setelah negosiasi yang dilakukan
gagal, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan kembali yang membahas tiga
kategori permasalahan, diantaranya :
1. Aspek Idiil RRI :
a. Landasan/Dasar : Proklamasi 17 Agustus 1945
b. Tujuan : perjuangan bangsa Indonesia dalam membela
dan menegakan kemerdekaan negara dan membangun cita-cita kemerdekaan pada
umumnya. Selain itu juga untuk membangun komunikasi antara pemerintah dengan
rakyat.
c. Norma dan Moral Siaran : setiap pegawai harus yakin
dengan perjuangan RRI dan yang paling penting ialah mengutamakan kepentingan
pribadi golongan dan aliran dalam membina penyiaran.
d. Disiplin Perjuangan : seluruh pegawai RRI harus
membela dan menjaga keselamatan alat-alat radio dengan segala akibatnya.
e. Semboyan : dalam keadaan apapun, siaran di RRI
tidak boleh lenyap dari udara.
2. Aspek Struktural :
a. Organisasi : RRI adalah Badan Penyiaran Radio yang
bersifat persatuan dengan Jakarta sebagai kantor pusat sementara dan studio di
daerah sebagai cabangnya.
b. Pimpinan : RRI dimpimpin oleh seorang Pimpinan Umum
dengan kepala bagian di Pusat sebagai pembantunya dan kepala studio yang ada di
daerah sebagai wakilnya.
c. Status RRI : Belum ditetapkan oleh pemerintah.
d. Kesatuan Unit : Bagian siaran dan pemancar
merupakan satu unit yang tidak dapat dipisahkan.
e. Komunikasi pusat dan daerah : Melalui hubungan
telegrafi yang diselenggarakan oleh RRI sendiri.
f. Hubungan dengan pemerintah : Hubungan RRI dengan pemerintah
hanya melalui pimpinan umum.
3. Aspek Program Perjuangan :
a. Penguasaan pemancar dan alat radio dari tangan
Jepang dengan cara apapun.
b. Mempersiapkan pemancar gerilya mobil untuk menjamin
kelangsungan siaran RRI.
c. Mengobarkan semangat kemerdekaan Proklamasi 17
Agustus 1945 di dalam negeri.
d. Menyebarluaskan ke seluruh dunia tentang cita-cita
dan perjuangan bangsa Indonesia yang sudah merdeka.
Pada tanggal 11 September ditetapkan sebagai hari
lahirnya Radio Republik Indonesia dan mulai dari itu semua yang hadir dan
menyatakan diri sebagai pegawai RRI dengan menempatkan Dr. Abdulrachman Saleh sebagai
pimpinan umum di kantor pusat RRI yang ada di Jakarta. Beberapa poin yang telah
disampaikan dalam bab ini menjelaskan bahwa Radio Republik Indonesia mempunyai
peran yang besar bagi perkembangan RRI di kemudian hari. Selain itu juga,
dengan diangkatnya Maladi sebagai Kepala Jabatan RRI, maka kantor pusat RRI
yang semula berada di Jakarta berpindah ke Solo karena RRI Surakarta dalam
posisi yang sangat sentral untuk keseluruhan manajemen siaran.
Setelah itu, penyerahan kekuasaan dari Yasaki kepada
Maladi telah
dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1945 yang menandai
juga telah terlaksananya hasil keputusan rapat yang dilakukan di Jakarta. Tugas
berat RRI setelah berhasil menyelenggarakan siaran secara rutin adalah mencari tempat
yang strategis untuk menempatkan pemancar yang aman dan mampu menjangkau
wilayah yang luas. Langkah ini harus dilakukan karena merupakan mandat dari
hasil rapat yang telah dilakukan. Akhirnya dipilihlah daerah Tawangmangu dan
kompleks Gunung Lawu sebagai basis radio gerilya.
Berdasarkan pemaparan tersebut, dijelaskan bahwa peran
yang besar yang dilakukan Radio Republik Indonesia di Surakarta. Dibawah pimpinan
Maladi, seseorang yang memiliki talenta menjadikan RRI radio siaran yang sangat
berguna pada masa itu. Dari mulai siaran yang hanya di desa hingga mampu
melakukan siaran ke luar negeri merupakan usaha yang tidak mudah untuk tetap
membangun eksis nama Indonesia. Berkat berita yang telah disebarluaskan melalui
RRI, akhirnya PBB mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan Pemerintah terhadap Pers
Kementerian penerangan menjadi salah satu dari 12
kementerian yang dibentuk oleh Pemerintahan Republik Indonesia dalam sidang
PPKI. Tujuan dari kementerian tersebut dibentuk agar dapat memperkenalkan dan
menjelaskan baik kepada rakyat Indonesia sendiri maupun kepada dunia luar
tentang Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Kementerian ini
juga diharapkan dapat menjadi alat pemerintah untuk menanamkan rasa tanggung
jawab dan patriotisme sebagai bangsa untuk membela kemerdekaan. Sebagai corong
pemerintah, maka kementerian penerangan dibebenani tugas untuk ikut serta:
1. membela dan mempertahankan kemerdekaan,
2. mengajak rakyat untuk ikut serta mempertahankan dan
mengisi kemerdekaan, serta
3. memperkenalkan Republik Indonesia ke Luar Negeri.
Pada awalnya tenaga-tenaga penerangan pertama dapat
dikatakan terdiri dari kelompok-kelompok:
1. Tenaga-tenaga pemuda yang melakukan perjuangan di
bawah tanah untuk
persiapan kemerdekaan Indonesia
2. Mereka yang menggunakan kedudukannya sebagai
pegawai-pegawai
Sedenbu dan Hosokyoku pada pemerintahan Militer Jepang
untuk
menyadarkan kebesaran nasional.
3. WNI di luar negeri yang tergugah oleh proklamasi
kemerdekaan
negerinya, sehingga membantu menyiarkan proklamasi
kemerdekaan
diluar tanah air
Tugas kementerian penerangan tidak hanya terbatas pada
tugas pokok
saja, seperti memberikan penerangan tentang arti
revolusi, arti kemerdekaan Indonesia, tetapi juga mengerjakan urusan-urusan
luar negeri, urusan displeased persons
dan lain-lain yang ada pada masa itu belum tertangani oleh Kementerian Luar
Negeri, Kementerian Sosial atau kementerian yang lain. Contohnya, menteri
penerangan juga mengurusi soal-soal yang berhubungan dengan tugas angkatan
perang, ketika saat itu kementerian penerangan memberikan surat keterangan
kepada anggota-anggota tentara untuk dapat masuk ke daerah-daerah yang pada
waktu itu diduduki musuh.
KASUS "INDONESIA RAYA"
Pada sejarah
pers Indonesia paska kemerdekaan, koran Indonjesia Raya memiliki kedudukan yang
unik di tengah masyarakat majemuk. Hal ini dikarenakan koran Indonesia Raya
merupakan koran yang kontrovesial dengan penyajian beritanya yang tidak
memiliki “sensor” dengan kritik-kritiknya yang tajam, terbuka, dan langsung.
Bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa yang populer, tanpa banyak berusaha
menggunakan eufisme. Eufisme sendiri adalah ungkapan yang lebih halus sebagai
pengganti ungkapan yang dirasakan kasar.
Hal ini bisa
diartikan sebagai bahwa koran Indonesia Raya tidak memberikan toleransi sedikitpun
terhadap pihak-pihak manapun yang menjadi konten dalam koran mereka. Koran
Indonesia Raya bisa dikatakan sebagai koran yang sangat transparan kepada
masyarakat terhadap situasi yang sedang terjadi dan tidak memihak kepada
siapapun.
Alfian
mengatakan bahwa bukannya masyarakat Indonesia tidak dapat menerima kritik,
tetapi keadaan yang majemuk menimbulkan berbagai perbedaan dalam penerimaan
mereka. Hal terpenting bagi masyarakat Indonesia adalah bagaimana cara
penyampaian kritik itu daripada isi yang terkandung didalamnya, atau dengan
kata lain apakah kritik yang disampaikan tersebut masih dalam batas tata cara
yang lazim dalam arti kata sopan, pantas, dan halus.
Sebagai
pihak yang berbeda dengan masyarakat yang lebih mementingkan kulit pembungkus
dibanding isinya, koran Indonesia Raya muncul sebagai sebuah pantulan yang
kontras di permukaan latar belakang kebudayaan politik Indonesia. Hal ini
membuat koran Indonesia Raya terkadang menjadi teman dekat masyarakat tetapi
juga terkadang menjadi musuh dari masyarakat.
Hal ini bisa
dilihat dari pada masa penerbitan periode pertama pada tahun 1949-1958, 5
wartawan dari koran Indonesia Raya pernah dipenjarakan. Pada periode itu koran
Indonesia Raya juga pernah mengalami “pembredelan” sejumlah 6 kali, yang dimana
semua itu terjadi pada 2 tahun terakhir yaitu tahun 1957-1958. Akan tetapi hal
ini justru memberikan koran Indonesia Raya identitas berupa media pers yang
lebih mementingkan idealisme daripada perusahaan bisnis. Hal ini juga
menunjukkan sikap para pengasuhnya yang merupakan para pendukung kebebasan
menyatakan pikiran dan pendapat yang penuh. Koran Indonesia Raya juga sering
dicela sebagai media yang kurang mempertimbangkan kelangsungan hidup bisnis
surat kabar, tetapi lebih menekankan hasrat memperjuangkan profesi kewartawanan
yang murni.
Celaan ini
kemudian dibalas oleh Mochtar Lubis yang mengatakan: “tetapi saya pikir, ketika
kira dulu berjuan ratusan ribu teman kita telah mati untuk merebut suatu
kemerdekaan. Pengorbanan itu kemudian ada artinya bagi kita. Apakah karena 100
orang yang bekerja pada kita, lalu kita hendak mengorbankan prinsip kemerdekaan
pers?” Hal-hal tersebut juga menyebabkan koran Indonesia Raya dapat digolongkan
sebagai jurnalisme advokasi, yaitu sebuah gaya jurnalisme yang sangat teguh
dalam mendesakkan pendiriannya untuk sesuatu “perbaikan keadaan”. Hal ini
dianggap oleh sebagian orang sebagai sikap fanatik yang sama sekali tidak
bersedia melangkah mundur dari pendirian awalnya.
Pada tahun
1954 kritik terhadap pemerintah sangat ramai deiberitakan oleh koran Indonesia
Raya. Menurut Oey Hong Lee, istilah yang pas untuk koran Indonesia Raya adalah
muckraking paper atau koran yang melakukan penyidikan kasus korupsu terhadap
pemerintah maupun pengusaha dan kemudian menyiarkannya secara “gegap gempita”.
Kritik yang dilayangkan tanpa pandang bulu pun pernah menimpa Presiden Soekarno
ketika menikah dengan Hartini.
Akan tetapi,
kritik dan pemberitaan tanpa pandang bulu ini juga membawa petaka pada koran
Indonesia Raya. Hal ini dilihat dari ketika koran Indonesia Raya menerbitkan
berita tentang peristiwa Letkol Achmad Husein, komandan resimen AD Sumatra
Tengah dan ketua Dewan Banteng, mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur
Ruslan Muljohardjo yang menuntut pembentukan kabinet baru untuk mengubah
kondisi negara yang tidak mengenakkan.
Pada malam
hari setelah berita itu disiarkan, 21 Desember 1956, pemimpin redaksi Indonesia
Raya ditangkap oleh Korps Polisi Militer karena disangka terlibat dalam
“gerakan Zulkifli Lubis” yang dituduh akan melakukan kudeta. Kemudian hal buruk
lain yang menimpa pers berikutnya adalah pembredelan. Hal ini tidak hanya
terjadi pada koran Indonesia Raya saja tetapi juga koran-koran lainnya. Pada
bukan September 1957, 10 koran dan 3 kantor berita ditutup sementara oleh
penguasa militer Jakarta Raya. Hal ini disebabkan oleh para korran ini
menyiarkan berita yang tidak berasal dari juru bicara resmi Musyawarah Nasional
yang tengah berlangsung di ibukota bulan itu.
Daftar Pustaka :
Abar, A. Z.
1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974, LkiS Yogyakarta.
Darmanto,
Istiyono, 2013. RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.
Author :
Nada Nusa Parenta
Gabriela Arnetta Ng
Albertus Agung Fandy Salama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar