Discuss Communication Studies In A Brief, Accurate And In-Depth From Reliable Source

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Jumat, 29 Maret 2019

Sejarah RRI, Kebijakan Pers, Kasus "Indonesia Raya"


KEBIJAKAN KOMUNIKASI PASCA PROKLAMASI

Sejarah Radio Republik Indonesia

Semenjak radio Jepang yang bernama Hoso Kyoku telah ditutup, dunia penyiaran dan komunikasi massa mulai vakum. Padahal Indonesia sebagai negara yang telah merdeka sangat membutuhkan media komunikasi massa yang efektif untuk kepentingan hubungan antara pemimpin pemerintahan dengan masyarakat. Oleh karena itu, Maladi selaku mantan penyiar Hoso Kyoku mengajak teman-temannya untuk berunding guna membahas tindak lanjut media penyiaran dan penutupan siaran Hoso Kyoku. Dalam pertemuan tersebut, telah terbentuk beberapa poin yang disampaikan, antara lain :

1. Mereka akan membentuk Persatuan Republik Radio Republik Indonesia yang akan meneruskan penyiaran dari 8 studio di Jawa.
2. RRI yang mereka bentuk akan dipersembahkan kepada Presiden dan pemerintah guna kepentingan komunikasi dengan masyarakat.
3. Pada saatnya mereka nanti akan menjadi pegawai Republik Indonesia.
4. Mereka akan bekerja sebagai organisasi sendiri karena mengingat penyiaran radio dalam pemerintahan belum di tetapkan.
5. Segala pekerjaan mereka akan diatur dengan faktor pertempuran antara Indonesia melawan Inggris dan Belanda.
6. Penyerahan peralatan siaran dari Jepang akan mereka tangani sendiri namun mereka tetap meminta bantuan Pemerintah.
7. Untuk keperluan komunikasi antara pemerintah dengan orang radio, hendaknya melalui satu orang yaitu Dr. Abdulrachman Saleh yang mewakili orang radio dan pihak Pemerintah pun hendaknya menunjuk salah seorang wakil.

Setelah melakukan pertemuan tersebut, mereka melakukan negosiasi terhadap Okonogi yaitu Kepala Bagian Hoso Kyoku karena peralatan penyiaran dari pemerintah Jepang tidak dapat diserahkan karena peralatan tersebut sudah diserahkan kepada SEAC di Singapore. Maka setelah negosiasi yang dilakukan gagal, mereka memutuskan untuk mengadakan pertemuan kembali yang membahas tiga kategori permasalahan, diantaranya :

1. Aspek Idiil RRI :
a. Landasan/Dasar : Proklamasi 17 Agustus 1945
b. Tujuan : perjuangan bangsa Indonesia dalam membela dan menegakan kemerdekaan negara dan membangun cita-cita kemerdekaan pada umumnya. Selain itu juga untuk membangun komunikasi antara pemerintah dengan rakyat.
c. Norma dan Moral Siaran : setiap pegawai harus yakin dengan perjuangan RRI dan yang paling penting ialah mengutamakan kepentingan pribadi golongan dan aliran dalam membina penyiaran.
d. Disiplin Perjuangan : seluruh pegawai RRI harus membela dan menjaga keselamatan alat-alat radio dengan segala akibatnya.
e. Semboyan : dalam keadaan apapun, siaran di RRI tidak boleh lenyap dari udara.

2. Aspek Struktural :
a. Organisasi : RRI adalah Badan Penyiaran Radio yang bersifat persatuan dengan Jakarta sebagai kantor pusat sementara dan studio di daerah sebagai cabangnya.
b. Pimpinan : RRI dimpimpin oleh seorang Pimpinan Umum dengan kepala bagian di Pusat sebagai pembantunya dan kepala studio yang ada di daerah sebagai wakilnya.
c. Status RRI : Belum ditetapkan oleh pemerintah.
d. Kesatuan Unit : Bagian siaran dan pemancar merupakan satu unit yang tidak dapat dipisahkan.
e. Komunikasi pusat dan daerah : Melalui hubungan telegrafi yang diselenggarakan oleh RRI sendiri.
f. Hubungan dengan pemerintah : Hubungan RRI dengan pemerintah hanya melalui pimpinan umum.

3. Aspek Program Perjuangan :
a. Penguasaan pemancar dan alat radio dari tangan Jepang dengan cara apapun.
b. Mempersiapkan pemancar gerilya mobil untuk menjamin kelangsungan siaran RRI.
c. Mengobarkan semangat kemerdekaan Proklamasi 17 Agustus 1945 di dalam negeri.
d. Menyebarluaskan ke seluruh dunia tentang cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia yang sudah merdeka.

Pada tanggal 11 September ditetapkan sebagai hari lahirnya Radio Republik Indonesia dan mulai dari itu semua yang hadir dan menyatakan diri sebagai pegawai RRI dengan menempatkan Dr. Abdulrachman Saleh sebagai pimpinan umum di kantor pusat RRI yang ada di Jakarta. Beberapa poin yang telah disampaikan dalam bab ini menjelaskan bahwa Radio Republik Indonesia mempunyai peran yang besar bagi perkembangan RRI di kemudian hari. Selain itu juga, dengan diangkatnya Maladi sebagai Kepala Jabatan RRI, maka kantor pusat RRI yang semula berada di Jakarta berpindah ke Solo karena RRI Surakarta dalam posisi yang sangat sentral untuk keseluruhan manajemen siaran.

Setelah itu, penyerahan kekuasaan dari Yasaki kepada Maladi telah
dilakukan pada tanggal 1 Oktober 1945 yang menandai juga telah terlaksananya hasil keputusan rapat yang dilakukan di Jakarta. Tugas berat RRI setelah berhasil menyelenggarakan siaran secara rutin adalah mencari tempat yang strategis untuk menempatkan pemancar yang aman dan mampu menjangkau wilayah yang luas. Langkah ini harus dilakukan karena merupakan mandat dari hasil rapat yang telah dilakukan. Akhirnya dipilihlah daerah Tawangmangu dan kompleks Gunung Lawu sebagai basis radio gerilya.

Berdasarkan pemaparan tersebut, dijelaskan bahwa peran yang besar yang dilakukan Radio Republik Indonesia di Surakarta. Dibawah pimpinan Maladi, seseorang yang memiliki talenta menjadikan RRI radio siaran yang sangat berguna pada masa itu. Dari mulai siaran yang hanya di desa hingga mampu melakukan siaran ke luar negeri merupakan usaha yang tidak mudah untuk tetap membangun eksis nama Indonesia. Berkat berita yang telah disebarluaskan melalui RRI, akhirnya PBB mengakui eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan Pemerintah terhadap Pers

Kementerian penerangan menjadi salah satu dari 12 kementerian yang dibentuk oleh Pemerintahan Republik Indonesia dalam sidang PPKI. Tujuan dari kementerian tersebut dibentuk agar dapat memperkenalkan dan menjelaskan baik kepada rakyat Indonesia sendiri maupun kepada dunia luar tentang Indonesia yang baru saja memproklamasikan kemerdekaan. Kementerian ini juga diharapkan dapat menjadi alat pemerintah untuk menanamkan rasa tanggung jawab dan patriotisme sebagai bangsa untuk membela kemerdekaan. Sebagai corong pemerintah, maka kementerian penerangan dibebenani tugas untuk ikut serta:

1. membela dan mempertahankan kemerdekaan,
2. mengajak rakyat untuk ikut serta mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, serta
3. memperkenalkan Republik Indonesia ke Luar Negeri.

Pada awalnya tenaga-tenaga penerangan pertama dapat dikatakan terdiri dari kelompok-kelompok:

1. Tenaga-tenaga pemuda yang melakukan perjuangan di bawah tanah untuk
persiapan kemerdekaan Indonesia
2. Mereka yang menggunakan kedudukannya sebagai pegawai-pegawai
Sedenbu dan Hosokyoku pada pemerintahan Militer Jepang untuk
menyadarkan kebesaran nasional.
3. WNI di luar negeri yang tergugah oleh proklamasi kemerdekaan
negerinya, sehingga membantu menyiarkan proklamasi kemerdekaan
diluar tanah air

Tugas kementerian penerangan tidak hanya terbatas pada tugas pokok
saja, seperti memberikan penerangan tentang arti revolusi, arti kemerdekaan Indonesia, tetapi juga mengerjakan urusan-urusan luar negeri, urusan displeased persons dan lain-lain yang ada pada masa itu belum tertangani oleh Kementerian Luar Negeri, Kementerian Sosial atau kementerian yang lain. Contohnya, menteri penerangan juga mengurusi soal-soal yang berhubungan dengan tugas angkatan perang, ketika saat itu kementerian penerangan memberikan surat keterangan kepada anggota-anggota tentara untuk dapat masuk ke daerah-daerah yang pada waktu itu diduduki musuh.

KASUS "INDONESIA RAYA"

Pada sejarah pers Indonesia paska kemerdekaan, koran Indonjesia Raya memiliki kedudukan yang unik di tengah masyarakat majemuk. Hal ini dikarenakan koran Indonesia Raya merupakan koran yang kontrovesial dengan penyajian beritanya yang tidak memiliki “sensor” dengan kritik-kritiknya yang tajam, terbuka, dan langsung. Bahasa yang digunakan juga merupakan bahasa yang populer, tanpa banyak berusaha menggunakan eufisme. Eufisme sendiri adalah ungkapan yang lebih halus sebagai pengganti ungkapan yang dirasakan kasar.
Hal ini bisa diartikan sebagai bahwa koran Indonesia Raya tidak memberikan toleransi sedikitpun terhadap pihak-pihak manapun yang menjadi konten dalam koran mereka. Koran Indonesia Raya bisa dikatakan sebagai koran yang sangat transparan kepada masyarakat terhadap situasi yang sedang terjadi dan tidak memihak kepada siapapun.
Alfian mengatakan bahwa bukannya masyarakat Indonesia tidak dapat menerima kritik, tetapi keadaan yang majemuk menimbulkan berbagai perbedaan dalam penerimaan mereka. Hal terpenting bagi masyarakat Indonesia adalah bagaimana cara penyampaian kritik itu daripada isi yang terkandung didalamnya, atau dengan kata lain apakah kritik yang disampaikan tersebut masih dalam batas tata cara yang lazim dalam arti kata sopan, pantas, dan halus.
Sebagai pihak yang berbeda dengan masyarakat yang lebih mementingkan kulit pembungkus dibanding isinya, koran Indonesia Raya muncul sebagai sebuah pantulan yang kontras di permukaan latar belakang kebudayaan politik Indonesia. Hal ini membuat koran Indonesia Raya terkadang menjadi teman dekat masyarakat tetapi juga terkadang menjadi musuh dari masyarakat.
Hal ini bisa dilihat dari pada masa penerbitan periode pertama pada tahun 1949-1958, 5 wartawan dari koran Indonesia Raya pernah dipenjarakan. Pada periode itu koran Indonesia Raya juga pernah mengalami “pembredelan” sejumlah 6 kali, yang dimana semua itu terjadi pada 2 tahun terakhir yaitu tahun 1957-1958. Akan tetapi hal ini justru memberikan koran Indonesia Raya identitas berupa media pers yang lebih mementingkan idealisme daripada perusahaan bisnis. Hal ini juga menunjukkan sikap para pengasuhnya yang merupakan para pendukung kebebasan menyatakan pikiran dan pendapat yang penuh. Koran Indonesia Raya juga sering dicela sebagai media yang kurang mempertimbangkan kelangsungan hidup bisnis surat kabar, tetapi lebih menekankan hasrat memperjuangkan profesi kewartawanan yang murni.
Celaan ini kemudian dibalas oleh Mochtar Lubis yang mengatakan: “tetapi saya pikir, ketika kira dulu berjuan ratusan ribu teman kita telah mati untuk merebut suatu kemerdekaan. Pengorbanan itu kemudian ada artinya bagi kita. Apakah karena 100 orang yang bekerja pada kita, lalu kita hendak mengorbankan prinsip kemerdekaan pers?” Hal-hal tersebut juga menyebabkan koran Indonesia Raya dapat digolongkan sebagai jurnalisme advokasi, yaitu sebuah gaya jurnalisme yang sangat teguh dalam mendesakkan pendiriannya untuk sesuatu “perbaikan keadaan”. Hal ini dianggap oleh sebagian orang sebagai sikap fanatik yang sama sekali tidak bersedia melangkah mundur dari pendirian awalnya.
Pada tahun 1954 kritik terhadap pemerintah sangat ramai deiberitakan oleh koran Indonesia Raya. Menurut Oey Hong Lee, istilah yang pas untuk koran Indonesia Raya adalah muckraking paper atau koran yang melakukan penyidikan kasus korupsu terhadap pemerintah maupun pengusaha dan kemudian menyiarkannya secara “gegap gempita”. Kritik yang dilayangkan tanpa pandang bulu pun pernah menimpa Presiden Soekarno ketika menikah dengan Hartini.
Akan tetapi, kritik dan pemberitaan tanpa pandang bulu ini juga membawa petaka pada koran Indonesia Raya. Hal ini dilihat dari ketika koran Indonesia Raya menerbitkan berita tentang peristiwa Letkol Achmad Husein, komandan resimen AD Sumatra Tengah dan ketua Dewan Banteng, mengambil alih pemerintahan sipil dari Gubernur Ruslan Muljohardjo yang menuntut pembentukan kabinet baru untuk mengubah kondisi negara yang tidak mengenakkan.
Pada malam hari setelah berita itu disiarkan, 21 Desember 1956, pemimpin redaksi Indonesia Raya ditangkap oleh Korps Polisi Militer karena disangka terlibat dalam “gerakan Zulkifli Lubis” yang dituduh akan melakukan kudeta. Kemudian hal buruk lain yang menimpa pers berikutnya adalah pembredelan. Hal ini tidak hanya terjadi pada koran Indonesia Raya saja tetapi juga koran-koran lainnya. Pada bukan September 1957, 10 koran dan 3 kantor berita ditutup sementara oleh penguasa militer Jakarta Raya. Hal ini disebabkan oleh para korran ini menyiarkan berita yang tidak berasal dari juru bicara resmi Musyawarah Nasional yang tengah berlangsung di ibukota bulan itu.

Daftar Pustaka :

Abar, A. Z. 1995. Kisah Pers Indonesia 1966-1974, LkiS Yogyakarta.
Darmanto, Istiyono, 2013. RRI Surakarta dari Radio Komunitas Menjadi Radio Publik. CV Diandra Primamitra Media dan RRI Surakarta.





Author : 
Nada Nusa Parenta
Gabriela Arnetta Ng
Albertus Agung Fandy Salama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Your Ad Spot

Halaman